Kuatbaca - Wacana transformasi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) kini memasuki babak baru. Lembaga yang selama ini fokus mengelola dana haji secara syariah, mulai diarahkan untuk mengambil peran yang lebih besar: tidak hanya sebagai pengelola keuangan, tetapi juga sebagai operator layanan haji yang terintegrasi. Konsep ini bukan sekadar wacana biasa. Ini adalah langkah strategis untuk mengatasi berbagai tantangan yang selama ini membebani proses penyelenggaraan haji.
Gagasan ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang ingin menjadikan pengelolaan haji lebih efisien, terpusat, dan pro-rakyat. Dengan jutaan calon jemaah haji Indonesia yang setiap tahunnya menanti keberangkatan, efisiensi dan profesionalisme menjadi keniscayaan.
Salah satu ide besar yang kini mengemuka adalah pembangunan infrastruktur mandiri untuk jemaah haji asal Indonesia di Arab Saudi. Dalam skenario ini, BPKH tidak hanya sekadar menempatkan dana di instrumen syariah atau membiayai layanan haji, tetapi juga membangun dan mengelola fasilitas seperti bandara dan kompleks hotel khusus jemaah Indonesia.
Bayangkan jika jemaah tak lagi perlu bergantung pada layanan pihak ketiga di luar negeri yang belum tentu memahami budaya dan kebutuhan unik masyarakat Indonesia. Bandara khusus, misalnya, bisa dibangun di dekat wilayah yang dikenal sebagai “Kampung Indonesia” — sebuah kawasan yang dikhususkan untuk jemaah asal Tanah Air. Di dalamnya bisa terdapat hotel, pusat katering, fasilitas medis, hingga layanan bimbingan ibadah terpadu yang semuanya dikendalikan oleh entitas milik negara.
Saat ini, penyelenggaraan haji Indonesia masih sangat tergantung pada syarikah (perusahaan mitra di Arab Saudi) yang belum tentu memahami secara menyeluruh ekosistem dan karakteristik jemaah Indonesia. Hal ini kerap menimbulkan ketidaksesuaian antara layanan dan kebutuhan di lapangan, seperti pemisahan kloter jemaah dengan hotel yang berjauhan, atau kurangnya sinergi antara pembimbing dan peserta haji.
Dengan fasilitas terintegrasi yang dikelola BPKH, setiap tahapan ibadah bisa dirancang agar lebih selaras dan nyaman. Pelayanan katering, penginapan, dan transportasi bisa dikoordinasikan dalam satu sistem. Efeknya bukan hanya efisiensi anggaran, tapi juga meningkatnya kualitas ibadah dan kebersamaan antarkelompok jemaah.
Namun, transformasi ini tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Salah satu aspek penting yang perlu diperkuat adalah diplomasi antara pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi. Karena seluruh regulasi terkait haji dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi, adaptasi dan negosiasi yang cermat mutlak diperlukan agar Indonesia bisa memperoleh ruang gerak yang lebih luas dalam mengelola layanan haji mandiri.
Peningkatan komunikasi antar kedua negara, serta pemahaman terhadap dinamika kebijakan Arab Saudi, menjadi kunci dalam mewujudkan cita-cita besar ini. Jika dikelola dengan tepat, Indonesia bukan hanya akan menjadi peserta haji terbesar di dunia, tetapi juga pelaksana haji paling inovatif dan profesional.
Dorongan agar BPKH bertransformasi menjadi institusi layanan haji berbasis syariah tidak hanya idealistik, melainkan realistis. Modal sosial, finansial, dan profesionalisme yang dimiliki lembaga ini telah cukup kuat. Tantangan ke depan adalah bagaimana membangun ekosistem pendukungnya, mulai dari infrastruktur fisik hingga kebijakan lintas negara.
Jika wacana ini benar-benar terealisasi, jutaan umat Muslim Indonesia akan merasakan pengalaman berhaji yang lebih manusiawi, nyaman, dan terhormat. Tidak sekadar menjadi tamu di negeri orang, tapi hadir sebagai komunitas besar dengan sistem dan layanan sendiri — dikelola oleh bangsa sendiri, untuk rakyat sendiri.
Transformasi BPKH ini adalah potret perubahan paradigma: dari hanya mengelola uang, menjadi pengelola mimpi jutaan umat menuju Tanah Suci dengan lebih baik, lebih mulia.