Kuatbaca.com-Indonesia kembali menunjukkan keteguhan sikapnya dalam mempertahankan program hilirisasi nikel nasional, meskipun harus menghadapi berbagai tekanan dari pihak internasional. Di tengah gempuran gugatan dagang, tarif ekspor tambahan, hingga kampanye lingkungan global, pemerintah tetap melanjutkan strategi besar ini demi kemandirian industri dan kedaulatan sumber daya alam.
Sejak 2020, Indonesia sudah harus menghadapi gugatan dari Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel. Belum lagi, Amerika Serikat juga ikut memberlakukan tarif tambahan terhadap produk-produk berbahan dasar nikel dari Indonesia. Tidak berhenti di sana, tekanan juga muncul dari isu lingkungan yang menyebut nikel Indonesia sebagai "dirty nickel", yakni bahan baku yang dianggap tidak ramah terhadap lingkungan karena proses produksinya.
Meski demikian, pemerintah dan para pelaku industri nasional tidak tinggal diam. Mereka justru memperkuat komitmen dalam mengedepankan praktik industri berkelanjutan dengan memprioritaskan prinsip tata kelola lingkungan, sosial, dan pemerintahan yang baik (Environmental, Social, and Governance/ESG). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya fokus pada sisi ekonomi, tetapi juga pada aspek tanggung jawab lingkungan global.
Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdanakusumah, menegaskan bahwa pelaku hilirisasi dalam negeri kini semakin memperketat penerapan standar operasional yang ramah lingkungan. Bahkan beberapa perusahaan telah memulai proses sertifikasi dengan lembaga global seperti IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance) yang menilai praktik pertambangan berkelanjutan.
Upaya ini merupakan bentuk respon positif terhadap sorotan dunia internasional, sekaligus menjadi pembuktian bahwa industri nikel Indonesia bisa tumbuh sejalan dengan tuntutan global akan keberlanjutan.
Indonesia sendiri memiliki regulasi ketat yang mengatur aktivitas pertambangan dan hilirisasi, terutama dalam aspek perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh pelaku industri, termasuk sektor nikel. Penerapan hukum ini diawasi secara ketat, dengan evaluasi rutin guna memastikan bahwa kegiatan industri tetap sesuai dengan prinsip tanggung jawab sosial dan ekologi.
Program hilirisasi nikel yang mulai berjalan sejak 2014 telah menjadi motor penting dalam mengubah posisi Indonesia di pasar global. Tidak hanya berhasil meningkatkan nilai tambah produk tambang, program ini juga memberikan dampak besar terhadap penerimaan negara melalui pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), serta membuka lapangan kerja yang signifikan di sektor industri.
Indonesia kini menempati posisi sebagai produsen nikel terbesar di dunia, dengan pangsa pasar global mencapai lebih dari 60%. Ini merupakan capaian luar biasa yang menjadi alasan mengapa negara-negara lain merasa "terancam" oleh kekuatan Indonesia dalam rantai pasok nikel global.
FINI menilai bahwa kampanye negatif terhadap industri nikel Indonesia sejatinya adalah bagian dari dinamika perang dagang internasional. Isu-isu lingkungan kerap kali digunakan sebagai senjata geopolitik untuk menekan dominasi Indonesia di pasar global.
Keberhasilan Indonesia dalam hilirisasi nikel tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi dalam negeri, tetapi juga membawa dampak positif bagi dunia. Diversifikasi rantai pasok nikel global yang selama ini terpusat di segelintir negara, kini menjadi lebih terbuka dan inklusif. Hal ini sangat penting terutama untuk industri baterai kendaraan listrik (EV) yang tengah berkembang pesat dan sangat bergantung pada pasokan nikel yang stabil.
Menurut Arif, negara lain seharusnya melihat hilirisasi nikel di Indonesia sebagai peluang, bukan ancaman. Peluang investasi terbuka luas, begitu juga potensi kerja sama dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan. Dengan dukungan dan transfer teknologi yang tepat, Indonesia bahkan bisa menjadi contoh negara berkembang yang sukses mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Arif juga menyatakan bahwa FINI akan terus berdiri di garis depan mendukung kebijakan pemerintah dalam mengembangkan industri hilirisasi berbasis nikel yang kuat dan berdaya saing. Hal ini meliputi pemenuhan standar lingkungan global, penguatan aspek sosial kemasyarakatan, dan penerapan sistem tata kelola yang transparan serta akuntabel.
Dukungan dari organisasi seperti FINI terhadap roadmap pengembangan industri hilirisasi nikel menjadi sinyal positif bahwa sektor swasta dan pemerintah sejalan dalam mewujudkan visi besar ini. Peningkatan kualitas tata kelola serta pemenuhan persyaratan ESG menjadi fokus utama agar industri nikel Indonesia tidak hanya unggul dari sisi produksi, tetapi juga reputasi global.
Dengan memperkuat sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan komunitas internasional, Indonesia memiliki peluang besar menjadi pusat industri nikel berkelanjutan di dunia. Keberhasilan ini tentu akan memperkuat posisi Indonesia dalam transisi energi global dan revolusi kendaraan listrik yang semakin masif.