Cabuli 10 Santri, Guru Ngaji di Tebet Jaksel Ditangkap

Kuatbaca.com-Kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali mencoreng dunia pendidikan keagamaan di Indonesia. Kali ini, seorang guru ngaji di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, ditangkap pihak kepolisian setelah diduga mencabuli sedikitnya sepuluh orang santri yang masih di bawah umur. Kasus ini memicu keprihatinan publik dan menambah panjang daftar pelaku kekerasan seksual yang bersembunyi di balik profesi mulia.
Penangkapan dilakukan oleh jajaran Polres Metro Jakarta Selatan setelah menerima laporan dari masyarakat dan melakukan penyelidikan intensif. Dalam rekaman video yang beredar luas di media sosial, terlihat rumah pelaku telah dipasangi garis polisi, mengindikasikan status tempat tersebut sebagai lokasi kejadian perkara. Rumah yang sebelumnya digunakan sebagai tempat belajar mengaji itu kini berubah menjadi lokasi investigasi kejahatan serius.
Kasi Humas Polres Metro Jakarta Selatan, Kompol Murodih, mengonfirmasi bahwa pelaku sudah diamankan. Menurutnya, saat ini sudah terdapat sepuluh korban yang melaporkan kejadian pencabulan tersebut. “Korban yang terdata sementara ini berjumlah sepuluh orang, dan seluruhnya adalah anak-anak di bawah umur,” jelasnya saat dikonfirmasi oleh awak media.
1. Potensi Jumlah Korban Lebih Banyak
Pihak kepolisian juga membuka kemungkinan bahwa jumlah korban bisa bertambah seiring jalannya penyelidikan. Karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak ragu melaporkan jika mengetahui adanya korban lain atau pernah mengalami hal serupa dari pelaku.
Langkah hukum ini menjadi peringatan penting bahwa tindakan kekerasan seksual, terlebih terhadap anak, merupakan kejahatan yang tidak dapat ditoleransi dalam bentuk apapun, bahkan jika dilakukan oleh seseorang yang dianggap sebagai figur religius.
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jaksel kini sedang melakukan proses pendampingan intensif terhadap
para korban. Selain itu, kepolisian juga berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Pekerja Sosial (Peksos) dan Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTPPA) untuk menjamin pemulihan psikis para korban.
Kolaborasi ini bertujuan agar trauma yang dialami anak-anak dapat segera diatasi dan proses hukum tetap berjalan dengan memperhatikan perlindungan korban.
2. Peran Orang Tua dan Lingkungan dalam Pencegahan
Kasus ini menjadi alarm keras bagi seluruh orang tua, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas untuk lebih waspada dan peduli terhadap aktivitas anak-anak di luar rumah. Pendidikan agama seharusnya menjadi sarana pembentukan moral dan karakter, bukan justru menjadi tempat terjadinya pelanggaran etika dan hukum.
Penting bagi orang tua untuk mengenali perubahan perilaku anak dan lebih terbuka dalam komunikasi. Sering kali, korban kekerasan seksual merasa takut atau malu untuk bercerita, sehingga peran keluarga menjadi sangat krusial dalam mendorong mereka untuk bicara.
Sementara itu, lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, harus mulai menerapkan standar keamanan dan pengawasan yang ketat. Rekam jejak tenaga pengajar perlu ditelusuri secara menyeluruh sebelum diizinkan berinteraksi dengan anak-anak.
3. Mendorong Penegakan Hukum Tanpa Toleransi
Kepolisian berjanji akan menindak tegas pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur. Kompol Murodih menegaskan bahwa proses penyelidikan masih terus berlangsung dan setiap temuan baru akan dikembangkan untuk memastikan seluruh korban mendapat keadilan.
Dalam banyak kasus serupa, pelaku menggunakan kedekatan emosional atau posisi otoritatifnya untuk memanipulasi korban. Oleh sebab itu, masyarakat diminta untuk tidak segan melapor jika mencurigai adanya indikasi kekerasan seksual di lingkungan sekitar.
Pemerintah dan aparat penegak hukum juga didorong untuk segera mengesahkan dan menerapkan kebijakan hukum yang lebih keras terhadap predator seksual, terutama mereka yang menyasar anak-anak. Hukuman maksimal harus dijatuhkan demi memberi efek jera dan menjaga keselamatan generasi muda.
4. Pendidikan Agama Harus Tetap Bersih dari Kekerasan
Meski kasus ini menimbulkan luka dan kekecewaan, masyarakat diimbau untuk tidak serta-merta menyamaratakan seluruh guru ngaji atau pendidik agama. Masih banyak guru yang tulus dan berdedikasi tinggi dalam menyebarkan nilai-nilai moral dan keagamaan secara benar.
Justru karena itulah, pelaku seperti dalam kasus di Tebet ini harus ditindak tegas, agar dunia pendidikan agama tetap bersih dan dipercaya masyarakat. Perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, baik oleh negara, masyarakat, maupun institusi keagamaan.
Kejadian ini seharusnya menjadi momentum introspeksi kolektif untuk memperkuat sistem perlindungan anak, memperketat rekrutmen tenaga pengajar, serta menumbuhkan budaya keterbukaan antara anak dan orang dewasa di sekitarnya.