BKN Batalkan Uji Kompetensi Pejabat Sulbar, Ungkap Ada Eks Napi Korupsi dalam Daftar Peserta

1. BKN Batalkan Uji Kompetensi Pejabat Sulbar karena Temuan Eks Napi Korupsi
Kuatbaca.com - Badan Kepegawaian Negara (BKN) secara tegas membatalkan persetujuan pelaksanaan uji kompetensi dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama atau Eselon II di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Keputusan ini diambil usai ditemukannya peserta uji kompetensi yang merupakan mantan narapidana kasus korupsi. Padahal, sesuai regulasi, peserta dengan riwayat tindak pidana semacam itu seharusnya tidak layak untuk mengikuti proses pengisian jabatan.
Kepala BKN, Zudan Arif Fakrulloh, menegaskan bahwa berdasarkan hasil pengawasan, salah satu peserta uji kompetensi diketahui memiliki vonis hukum tetap dalam perkara tindak pidana korupsi. Namun, anehnya, peserta tersebut tidak dilaporkan secara administratif dan malah diusulkan untuk promosi jabatan, yang seharusnya berujung pada Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
2. Pelanggaran Terhadap Prinsip Sistem Merit ASN
Pembatalan yang dilakukan BKN bukan hanya sekadar langkah administratif, tetapi merupakan bagian dari penguatan pengawasan terhadap sistem merit ASN (Aparatur Sipil Negara). BKN menyatakan bahwa pengangkatan pejabat eselon harus melalui proses yang transparan dan sesuai Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) manajemen ASN sebagaimana diatur dalam PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS serta PP Nomor 17 Tahun 2020.
Kehadiran eks napi korupsi dalam uji kompetensi jelas bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dan good governance. Karena itu, langkah tegas BKN menjadi penting untuk menjaga integritas aparatur negara, serta memastikan bahwa proses rekrutmen dan mutasi jabatan tidak disusupi oleh pihak-pihak yang tercela secara hukum dan moral.
3. Dugaan Pelanggaran dalam Usulan Mutasi Pejabat Lain Juga Terungkap
Tidak hanya itu, BKN juga menemukan pelanggaran lain dalam mekanisme uji kompetensi yang dilakukan Pemprov Sulbar. Diketahui, terdapat empat pejabat eselon II (JPT Pratama) yang telah menjalani uji kompetensi dan hasilnya digunakan untuk mengusulkan pemberhentian dari jabatan, padahal tujuan utama uji kompetensi adalah untuk penyesuaian jabatan, bukan pemecatan.
Lebih lanjut, instansi terkait justru mengubah hasil uji kompetensi tersebut dan berencana melakukan mutasi ke instansi lain, tanpa disertai dengan dokumen usulan mutasi antarinstansi yang sah. Hal ini dinilai melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan karier ASN, serta berpotensi menimbulkan sengketa administratif ke depan.
4. BKN Minta Pemprov Sulbar Evaluasi Ulang Proses Uji Kompetensi
Menanggapi berbagai kejanggalan tersebut, Zudan mendesak agar Pemerintah Provinsi Sulbar segera melakukan peninjauan ulang terhadap seluruh peserta yang diusulkan dalam uji kompetensi pengisian jabatan. Evaluasi ini penting guna memastikan bahwa tidak ada pelanggaran terhadap prinsip integritas, profesionalisme, dan legalitas dalam proses pengangkatan pejabat publik.
Zudan menegaskan bahwa pengawasan preventif seperti ini bukan untuk memperlambat proses birokrasi, melainkan untuk menjamin mutu dan integritas pejabat negara. Tindakan ini juga melindungi para pembuat keputusan (PPK) dari potensi gugatan hukum jika kemudian hari terungkap bahwa keputusan yang diambil bertentangan dengan regulasi ASN yang berlaku.
5. PTDH Wajib Diterapkan untuk PNS Terpidana Korupsi
Dalam konteks yang lebih luas, BKN kembali mengingatkan bahwa pegawai negeri sipil yang terbukti bersalah dalam tindak pidana korupsi dan telah menerima putusan hukum tetap, wajib diberhentikan secara tidak hormat (PTDH). Hal ini sudah diatur secara eksplisit dalam Pasal 107 PP Nomor 17 Tahun 2020. Tidak boleh ada kompromi dalam hal ini, demi menjaga integritas lembaga pemerintahan.
Kasus di Sulbar menjadi cermin penting bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem deteksi dan pelaporan rekam jejak ASN. Karenanya, diperlukan kerja sama yang lebih kuat antara BKN, KPK, dan aparat penegak hukum lain agar tidak ada ruang bagi pelaku korupsi untuk kembali masuk ke dalam sistem birokrasi.