Bangkrutnya Pabrik Maruwa Indonesia: Kronologi, Dampak, dan Upaya Perlindungan Hak Karyawan

Kuatbaca.com-PT Maruwa Indonesia, produsen komponen elektronik yang beroperasi di kawasan Free Trade Zone Batam, resmi menghentikan kegiatan operasionalnya sejak April 2025. Keputusan ini menimbulkan gelombang kecemasan di kalangan ratusan pekerja yang kini dirumahkan tanpa kejelasan mengenai pembayaran gaji dan pesangon mereka. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun akhirnya angkat bicara, mengungkap penyebab utama bangkrutnya perusahaan tersebut.
1. Akar Masalah: Perubahan Kepemilikan Induk Usaha
Menurut penjelasan Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemenperin, Ronggolawe Sahuri, kebangkrutan PT Maruwa Indonesia tidak terlepas dari perubahan kepemilikan di tingkat induk perusahaan. Maruwa, yang sebelumnya merupakan perusahaan Jepang dan bermarkas di Malaysia, dijual ke investor asal Hong Kong pada tahun 2024. Dampak dari aksi korporasi ini sangat dirasakan di lini operasional anak usahanya di Batam.
Setelah akuisisi, Maruwa Indonesia mulai kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku untuk melanjutkan proses produksi. Situasi ini menyebabkan penurunan produksi secara signifikan dan membuat perusahaan tidak mampu mempertahankan kinerja ekspornya.
2. Likuidasi Aset sebagai Jalan Terakhir
Meski sempat menunjukkan performa ekspor di akhir 2024, tekanan terhadap PT Maruwa Indonesia kian meningkat. Pada April 2025, perusahaan memutuskan melakukan proses likuidasi aset. Hasil dari penjualan aset-aset tersebut digunakan untuk menutupi sebagian kewajiban terhadap karyawan, termasuk gaji dan pesangon.
Namun, jumlah hasil likuidasi disebut belum cukup untuk melunasi seluruh hak pekerja. Sebagian besar karyawan masih belum menerima kompensasi secara penuh. Hal ini menjadi sorotan publik dan memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk dari pemerintah pusat.
3. Tanggapan dan Tindakan dari Kementerian Ketenagakerjaan
Menanggapi situasi yang berkembang, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) turut memberikan klarifikasi. Kepala Biro Humas Kemnaker, Sunardi Manampiar Sinaga, mengimbau agar perusahaan segera memenuhi hak-hak karyawan yang terdampak. Jika kewajiban ini tidak segera dipenuhi, Kemnaker menyarankan agar para pekerja melaporkan masalah ini ke Dinas Tenaga Kerja
Daerah untuk ditindaklanjuti ke level pusat.
Kemnaker juga menyatakan kesiapan mereka untuk memediasi kasus ini. Apabila proses mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka akan dilakukan langkah lanjutan berupa pengawasan ketenagakerjaan guna menegakkan norma dan hukum ketenagakerjaan.
4. Perlunya Langkah Protektif dan Preventif
Kasus PT Maruwa Indonesia menjadi contoh penting mengenai rapuhnya posisi tenaga kerja ketika terjadi perubahan kepemilikan perusahaan secara mendadak. Pemerintah didorong untuk memperketat regulasi terkait perlindungan karyawan dalam situasi transisi kepemilikan perusahaan, terutama yang beroperasi di kawasan strategis seperti Batam.
Di sisi lain, perlunya kesadaran korporasi dalam mengedepankan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) juga menjadi isu penting. Karyawan adalah aset utama dalam rantai produksi, dan hak-haknya perlu dijamin dalam kondisi normal maupun krisis.
Kasus Maruwa Indonesia membuka mata banyak pihak akan pentingnya manajemen risiko dalam industri padat karya. Pemerintah diharapkan terus melakukan monitoring dan pengawasan terhadap perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Sementara itu, langkah cepat seperti mediasi dan penegakan hukum harus diambil agar hak-hak karyawan tidak terabaikan.