Apakah Gelar Haji Hanya Ada di Indonesia? Ini Asal-usul dan Penjelasannya

2 July 2025 18:44 WIB
masjidil-haram-1750598643980_169.webp

Kuatbaca.com - Penyebutan gelar haji untuk pria dan hajjah untuk wanita yang telah menunaikan ibadah ke Tanah Suci Makkah menjadi pemandangan umum di Indonesia. Nama seperti "H. Ahmad" atau "Hj. Siti" sering terdengar di lingkungan masyarakat, papan nama toko, hingga surat undangan. Lalu, apakah gelar haji hanya dikenal dan digunakan di Indonesia?

Ternyata tidak. Meski memang sangat populer di Indonesia, praktik pemberian gelar bagi orang yang telah berhaji juga dijumpai di beberapa negara lain, terutama di kawasan Melayu Islam. Namun, penggunaannya tidak seintens dan semeluas di Indonesia.

1. Gelar Haji Populer di Dunia Melayu

Menurut penelusuran para antropolog dan peneliti keislaman, tradisi pemberian gelar haji bukan hanya milik masyarakat Indonesia. Negara-negara serumpun seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan bahkan wilayah Thailand Selatan juga mengenal kebiasaan menyematkan gelar tersebut sebagai bentuk penghormatan.

Di beberapa tempat seperti Mesir Utara, tradisi mengenang perjalanan haji bahkan dilakukan secara lebih artistik. Rumah orang yang baru pulang dari Makkah akan dihias dengan lukisan Ka'bah, gambar unta, dan ilustrasi kendaraan yang mereka gunakan untuk berhaji. Hal ini menandakan bahwa perjalanan tersebut bukan hanya ritual spiritual, tetapi juga simbol status dan pencapaian hidup.

Sementara di Indonesia, gelar haji sering digunakan dalam konteks sosial dan administratif. Mulai dari penyebutan dalam acara-acara resmi, penulisan nama dalam dokumen, hingga penyematan gelar pada papan nama rumah atau usaha.

2. Jejak Historis: Perjuangan Orang Nusantara ke Makkah

Menurut Filolog Oman Fathurahman, sejak dahulu kala, ibadah haji bagi orang Nusantara adalah perjalanan yang penuh tantangan. Mereka harus melintasi lautan, menghadapi badai, menghindari perompak, dan menempuh perjalanan darat di padang pasir yang luas.

Karena begitu beratnya perjuangan itu, masyarakat zaman dahulu menganggap orang yang berhasil pulang dari ibadah haji sebagai pribadi yang luar biasa. Mereka dipandang sebagai tokoh panutan, baik dari sisi spiritual maupun moral. Maka tak heran, gelar "Haji" menjadi semacam penghormatan atas keberhasilan melewati ujian spiritual dan fisik yang berat.

Gelar itu kemudian menjadi identitas kehormatan, seolah menjadi pembeda antara mereka yang telah mencapai rukun Islam kelima dan yang belum. Masyarakat pun cenderung memberikan respek lebih kepada mereka yang telah menyandang gelar tersebut.

3. Dimensi Sosial, Budaya, dan Politik Gelar Haji di Indonesia

Pemberian gelar haji di Indonesia dapat ditinjau dari tiga perspektif: keagamaan, kultural, dan kolonial.

  • Dari sisi keagamaan, haji adalah puncak ibadah dalam Islam. Prosesnya yang tidak mudah, mahal, dan panjang membuat siapa pun yang berhasil melakukannya dianggap layak mendapatkan pengakuan sosial.
  • Dari sisi budaya, kisah-kisah tentang pengalaman berhaji sering menjadi cerita turun-temurun yang membentuk persepsi masyarakat bahwa naik haji adalah impian besar yang membanggakan. Tak sedikit pula yang melihat gelar haji sebagai simbol pencapaian status sosial.
  • Dari perspektif kolonial, gelar haji pernah dijadikan alat kontrol. Pemerintah kolonial Belanda di masa lalu mencemaskan potensi bangkitnya gerakan perlawanan dari mereka yang baru pulang haji, karena mereka bisa terinspirasi oleh pemikiran pembebasan dari dunia Islam. Maka pada 1872, Belanda mendirikan Konsulat di Arab Saudi untuk memantau jemaah asal Hindia Belanda, dan mewajibkan mereka mengenakan pakaian dan gelar haji agar lebih mudah diawasi.

4. Apakah Gelar Haji Wajib Dicantumkan di Identitas Resmi?

Secara hukum dan administrasi di Indonesia, penggunaan gelar Haji atau Hajjah tidak diwajibkan. Artinya, meskipun seseorang telah melaksanakan ibadah haji, mereka bebas memilih untuk mencantumkan gelarnya atau tidak di KTP, KK, atau dokumen resmi lainnya.

Namun, karena faktor kebudayaan dan nilai sosial yang tinggi, banyak masyarakat Indonesia memilih menambahkannya dalam berbagai bentuk identitas. Bahkan beberapa keluarga besar merasa bangga saat anggota keluarganya menjadi 'Haji' pertama di lingkungan mereka.

Kini, dalam era digital, sertifikat haji juga bisa diunduh secara daring melalui sistem Siskohat Kementerian Agama, sebagai bukti resmi bahwa seseorang telah melaksanakan ibadah ke Tanah Suci.

Lebih dari Sekadar Gelar, Tapi Warisan Budaya

Gelar haji bukan sekadar simbol ibadah, tetapi juga warisan budaya, identitas sosial, dan refleksi perjuangan spiritual. Meskipun tidak wajib secara agama, penyematan gelar ini tetap hidup sebagai penghormatan yang mendalam terhadap perjalanan suci seorang Muslim.

Dan meskipun tidak eksklusif milik Indonesia, penggunaan gelar haji paling menonjol dan meluas memang terjadi di Indonesia, menjadikannya sebagai bagian khas dari budaya Islam Nusantara.

Fenomena Terkini






Trending