Andini, Anak Pencari Ikan yang Hidup dengan Cerebral Palsy: Kisah Cinta Sejati Seorang Ibu Sambung

Kuatbaca.com - Di balik senyumnya yang polos dan tubuh kecil yang tak mampu bergerak bebas, Andini menyimpan kisah hidup yang menggetarkan hati. Gadis kecil yang menderita cerebral palsy ini tinggal di sebuah rumah semi permanen di kawasan Koja, Jakarta Utara, bersama ayah kandung dan ibu sambungnya, Sijah. Meski hidup dalam keterbatasan, kasih sayang tulus terus mengalir dari sosok Sijah, perempuan berhati besar yang memilih setia mengasuh Andini sejak bayi.
1. Kasih Seorang Ibu Sambung yang Tak Pernah Pudar
Andini hanya bisa terbaring dengan posisi leher mendangak. Tak banyak kata, hanya suara lirih dan sesekali senyuman yang jadi bahasanya. Meski bukan anak kandung, Sijah merawat Andini dengan penuh kelembutan, bagaikan darah dagingnya sendiri.
“Saya awalnya berat, tapi karena saya yang merawat dari lahir, lama-lama jiwa saya nyatu sama dia. Saya sayang dia lebih dari anak sendiri,” tutur Sijah sambil menahan tangis. Baginya, merawat Andini bukan beban, tapi ladang pahala. Ia tidak peduli dengan cibiran orang lain, karena Andini adalah amanah yang dijaga dengan penuh cinta.
2. Lahir Saat Sang Ibu Meninggal, Andini Langsung Menjadi Piatu
Kisah pilu Andini bermula saat sang ibu mengalami koma saat mengandung. Dokter pun harus menyelamatkan Andini dengan operasi caesar darurat. Sayangnya, ibunya tak selamat, dan sejak hari pertama hidupnya, Andini telah menjadi piatu.
Andini lahir dalam kondisi kejang-kejang akibat kekurangan oksigen. Menurut dokter, lama berada di kandungan saat ibunya koma menyebabkan kerusakan otak yang parah. Hasilnya, bercak darah muncul di otak Andini dan membuatnya mengalami cerebral palsy tipe pasif. Sejak itu, ia tidak pernah bisa berdiri, duduk, atau berbicara layaknya anak seusianya.
3. Hidup dalam Keterbatasan, Andini Bertahan Berkat Cinta
Ayah Andini hanya seorang pencari ikan di empang kecil sekitar rumah. Penghasilan tak menentu, bahkan dalam enam bulan hanya membawa pulang sekitar Rp 4 juta. Untuk mencukupi kebutuhan rumah, pengobatan Andini, hingga kebutuhan pokok seperti susu dan popok, Sijah harus putar otak.
“Obat kejang Andini enggak ditanggung BPJS. Satu bulan bisa habis Rp 300 ribu. Kadang kalau enggak ada, ya cukup beli seperempatnya saja,” jelas Sijah. Tak hanya itu, membawa Andini ke rumah sakit pun jadi tantangan besar karena tubuh Andini makin berat dan kaku, sementara biaya transportasi juga tak murah.
4. Kerja Tambahan demi Bantu Si Kecil Bertahan Hidup
Tak ingin menyerah, Sijah pun mencari penghasilan tambahan dengan menggetok rantai jala kapal. Meski hasilnya kecil, ia tetap bersyukur bisa membeli susu dan popok untuk Andini. Karena tidak bisa ditinggal, ke manapun pergi, Andini selalu digendong Sijah.
“Ke mana-mana dibawa. Dia butuh popok terus, minum susu juga. Jadi harus bener-bener dipantau,” tutur Sijah. Dalam kondisi seperti ini, Andini bahkan mengalami gizi buruk karena sulit mengonsumsi makanan secara optimal.
Sebisa mungkin, Sijah membawa Andini untuk terapi alternatif setiap Jumat agar kondisi tangannya yang kaku bisa sedikit membaik. “Kalau diurut, tangannya bisa agak lemas, tadinya bener-bener kaku semua,” ucapnya.
5. Harapan Terakhir: Bisa Kontrol Rumah Sakit Tanpa Beban Biaya
Di tengah keterbatasan, satu hal yang terus menjadi harapan besar bagi Sijah adalah agar Andini bisa rutin kontrol ke rumah sakit tanpa harus terbebani oleh biaya. Ia ingin putri sambungnya mendapat perawatan yang layak, seperti anak-anak lainnya.
Hidup yang penuh keterbatasan tidak membuat kasih sayang Sijah luntur sedikit pun. Ia terus berjuang tanpa pamrih, meski harus memikul beban berat setiap hari. Andini mungkin tidak bisa berkata-kata, tetapi tatapan matanya cukup menunjukkan bahwa ia merasa dicintai.