Ini Temuan Ombudsman Soal Sumber Lambatnya Layanan Visa di Bandara

Jakarta -Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Imigrasi mempercepat layanan visa, baik visa wisata atau visa kerja. Salah satunya adalah untuk mendorong investasi sehingga meningkatkan perekonomian.
Usai arahan itu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) lalu melakukan sejumlah penelusuran. Anggota ORI Jemsly Hutabarat melakukan sidak di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, pada 20 September 2022.
"Saat itu dalam waktu hampir bersamaan ada 6 penerbangan dengan total penumpang sekitar 2 ribu orang. Pihak Imigrasi sudah siap saat itu," kata Jemsly Hutabarat saat berbincang dengan detikcom, Jumat (23/9/2022).
Jemsly kemudian mencatat hal pertama yang dilakukan wisatawan asing itu mencari Rupiah di money changer untuk pembayaran Visa on Arrival. Belum lagi ada masalah bila si turis tidak membawa uang pas.
"Ini harusnya disosialisasikan oleh pihak maskapai atau agen turis agar wisatawan membawa uang pas buat pembayaran agar tidak ada penumpukan. Ini bukan tugas Imigrasi," ucap Jemsly.
Kalau pun ada yang membayar pakai kartu, terjadi penumpukan di pembayaran. Sebab harus memasukkan PIN untuk menggesek.
"Kenapa sih nggak sekalian pembayaran online? Jadi sebelum datang, mereka sudah membayar dari negara masing-masing. Katanya ada masalah soal aturan pembayaran ini. Kenapa sih kita membuat rumit kayak gini?" ujarnya.
Soal metode pembayaran itu juga bukan kewenangan Imigrasi tapi diatur oleh Kementerian Keuangan. Setelah masuk meja cap paspor, Imigrasi sudah membuka 16 jalur. Tiap jalur ada 4 meja, tapi hanya 2 meja yang ada komputernya.
"Saya tanya kepada Kantor Imigrasi, kenapa 2 meja dibiarkan kosong? Kepala Kantor Imigrasi menerangkan bila Imigrasi sudah menyiapkan sistem software. Tapi untuk pengadaan komputernya bukan kewenangan Imigrasi, itu di kewenangan Angkasa Pura," kata Jemsly.
Padahal, kata Jemsly, bila 16 jalur dijadikan 4 komputer, maka tentu lebih cepat pelayanan visa wisatawan asing. Bila Imigrasi inisiatif membeli komputernya, maka dikhawatirkan Imigrasi melakukan maladmnistrasi.
"Ini bukan saya membela Imigrasi, tapi memang seperti itu adanya. Imigrasi kan adanya di ujung," ucapnya.
Setelah selesai semua, wisatawan asing lalu menuju pengambilan bagasi. Saat ini, kata Jemsly, Bea Cukai modern dalam pencegahan dan penangkalan barang-barang terlarang.
"Dulu kan ditandai koper yang dicurigai dengan memberi mencoret menggunakan kapur. Kini sudah modern, bisa terlacak dengan alat," tutur Jemsly.
Dari temuan itu, maka Jemsly menilai permasalahan pelayanan di bandara bukan permasalahan Imigrasi semata. Tetapi kerja bersama dari berbagai instansi.
"Kalau di luar negeri, ada satu otoritas yang mengelola sehingga tidak tumpang tindih. Kalau di Indonesia kan ya tahu sendiri. Harusnya di bawah satu pengelolaan," ujar Jemsly.
Temuan Ombudsman senada dengan pernyataan Sekjen Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA), M Rachmad. Saat ini, Imigrasi sudah menerbitkan layanan visa online/e-Visa. Namun setelah calon wisatawan apply dokumen, ada tahapan lain yaitu soal pembayaran visa. Masalahnya, pembayaran ini harus menggunakan Rupiah sebab sistem e-Visa belum menerima mata uang asing sehingga terjadi kendala di bandara kedatangan.
"Calon wisatawan atau agen harus mencari Rupiah dulu. Kalau visa on arrival, harus antri di money changer di bandara sehingga menjadi antre," kata M Rachmad.
Rachmad membandingkan dengan di Turki. Di negara itu, visa dilakukan dengan menggunakan seluruh mata uang dari seluruh negara di dunia. Sehingga wisatawan datang berbondong-bondong ke Turki dan meraup pendapatan dari bisnis wisata dari pengurusan visa berkali-kali lipat dari Indonesia.
"Jadi calon wisatawan sambil ngopi di kafe atau tiduran bisa mengajukan visa ke Turki memakai kartu kredit atau pembayaran digital lain," ucapnya.
Sebagaimana diketahui, masalah pelayanan visa disentil oleh Presiden Jokowi.
"Ini yang begini-begini ini bermanfaat sekali bagi rakyat kita. Kita harus mulai betul-betul, Pak Menteri, mengubah ini, Pak. Ganti itu kalau kira-kira memang tidak punya kemampuan untuk reform seperti itu, ganti semuanya dari dirjen sampai bawahnya, ganti, akan berubah. Kalau tidak, tidak akan berubah," tutur Jokowi.