Hasil Kebudayaan Masyarakat Masa Berburu dan Meramu

Corak kehidupan manusia purba yang paling sederhana adalah pada masa berburu dan meramu (food gathering).
Pada periode awal munculnya peradaban ini, manusia purba masih tergantung sepenuhnya pada alam.
Makanan mereka diperoleh dengan cara berburu binatang dan mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan, atau buah.
Kemampuan mereka dalam memanfaatkan bahan yang disediakan alam pun masih sangat terbatas.
Selain itu, ciri-ciri kehidupan manusia purba pada masa berburu dan meramu adalah hidup secara berpindah-pindah atau nomaden guna mencari daerah baru yang dapat memberi mereka sumber makanan.
Meski kehidupannya masih sangat sederhana, masyarakat masa berburu dan meramu telah mengembangkan kebudayaan.
Masa berburu dan meramu sendiri dibagi dalam dua tahap, yakni masa berburu dan meramu tingkat awal serta masa berburu dan meramu tingkat lanjut.
Berikut ini bentuk kebudayaan pada masa berburu dan meramu tingkat awal dan tingkat lanjut.
Masa berburu dan meramu tingkat awal
Budaya masyarakat masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat awal masih sangat sederhana.
Pada periode ini, manusia purba mulai mengenal teknik pembuatan alat, tetapi masih primitif.
Peralatan yang dihasilkan biasanya berbahan batu, kayu, maupun tulang-tulang hewan yang masih kasar.
Beberapa hasil budaya atau barang di masa berburu dan meramu tingkat awal di antaranya:
Kapak perimbas, untuk menguliti binatang hasil berburu, merimbas kayu, dan memecah tulang Alat-alat serpih, sebagai gurdi, penusuk, dan pisau Kapak genggam awal, untuk menggali ubi dan memotong binatang buruan
Selain itu, bahasa sebagai alat komunikasi sudah terbentuk pada masa berburu dan meramu tingkat awal.
Untuk kegiatan berburu dan dalam kegiatan sehari-hari, telah diciptakan sejenis alat komunikasi melalui gerakan badan dan kata-kata sederhana.
Masa berburu dan meramu tingkat lanjut
Corak kehidupan masa berburu dan meramu tingkat lanjut sedikit lebih maju, tetapi masih dipengaruhi oleh corak hidup pada masa sebelumnya.
Hal ini terlihat dari teknik pembuatan alat, tempat tinggal, ataupun kesenian. Peralatan yang digunakan mulai diasah atau diupam, meskipun belum begitu halus.
Beberapa contoh hasil kebudayaan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut adalah kapak perimbas, kapak Sumatera, kapak penetak, anak panah, serta alat dari tulang dan tanduk rusa.
Di samping itu, pada masa ini mungkin sekali dibuat peralatan berbahan bambu.
Diduga bambu memiliki peran penting, karena dapat dengan mudah diolah menjadi berbagai macam peralatan sehari-hari.
Misalnya, bambu dapat dijadikan sudip untuk mencungkil atau membersihkan umbi-umbian, dijadikan keranjang, dan bahan bakar.
Masyarakatnya telah menunjukkan keinginan untuk bertempat tinggal sementara atau semi-nomaden, seperti di gua atau tepi pantai.
Hal itu dapat dihubungkan dengan perkembangan kebudayaan abris sous roche (gua menyerupai ceruk batu karang yang digunakan sebagai tempat tinggal) dan kjokkenmoddinger (sampah bukit kerang di tepi pantai).
Selama bertempat tinggal di gua, manusia purba tidak hanya membuat peralatan yang diperlukan, tetapi juga melukiskan sesuatu di dinding.
Lukisan itu dibuat dengan cara menggores pada dinding gua atau menggunakan cat dari bahan alami berwarna merah, hitam, atau putih.
Lukisan yang dibuat biasanya menggambarkan pengalaman sehari-hari, sebuah perjuangan, harapan, atau kepercayaan.
Contoh lukisan yang dibuat adalah berupa cap-cap tangan, orang naik perahu, dan lukisan binatang buruan.
Kehidupan spiritual masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut tergambar pada lukisan-lukisan yang ada di dinding gua.
Cap tangan mungkin mengandung arti kekuatan atau lambang kekuatan pelindung untuk mencegah roh jahat.
Di samping itu, lukisan juga bertalian dengan upacara-upacara penghormatan nenek moyang, upacara penguburan, dan keperluan meminta hujan atau kesuburan.
Lukisan cap tangan pernah ditemukan di Gua Leang-Leang, Sulawesi Selatan.
Selain itu, dari kehidupan di tepi pantai, selain ditemukan kjokkenmoddinger, masyarakat memiliki hasil kebudayaan berupa perhiasan kalung dari rangkaian kulit-kulit kerang.
Referensi:
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.