Kuatbaca - Dunia teknologi komputer tengah menghadapi pergeseran besar yang pelan tapi pasti mulai terasa dampaknya. Setelah hampir satu dekade menjadi standar utama di berbagai perangkat komputer, memori DDR4 kini memasuki senja kala produksinya. Para raksasa industri semikonduktor dunia mulai mengalihkan fokus mereka ke teknologi baru: DDR5. Peralihan ini pun langsung memicu efek domino yang cukup signifikan, terutama soal harga.
Awal 2025 menjadi titik awal lonjakan harga memori DDR4 yang cukup mencengangkan. Dalam beberapa laporan industri, harga modul DDR4 8GB dan 16GB tercatat naik hingga lebih dari 50% hanya dalam waktu satu bulan. Kenaikan ini bukan sekadar fluktuasi biasa, melainkan imbas dari pasokan yang makin menyusut karena pabrik-pabrik mulai menutup lini produksi DDR4 demi memberi jalan pada generasi berikutnya.
Kondisi ini tentunya membuat para pembeli skala besar—seperti perakit sistem komputer, manufaktur OEM, hingga pelaku usaha kecil di bidang IT—mulai kelimpungan. Pasalnya, kebutuhan akan RAM DDR4 masih tinggi, terutama untuk pasar entry-level dan komputer bisnis yang belum beralih ke platform terbaru.
Samsung, SK Hynix, dan Micron—tiga pemain utama dalam industri memori global—dikabarkan sudah mulai menghentikan produksi DDR3 dan secara bertahap mengurangi DDR4. Fokus mereka kini bergeser ke DDR5 dan juga memori berbandwidth tinggi (HBM) yang digunakan untuk kecerdasan buatan dan aplikasi komputasi berat lainnya. Langkah ini dipandang sebagai strategi jangka panjang yang logis, meski konsekuensinya harus ditanggung pengguna teknologi yang belum siap beralih.
Kontrak harga untuk chip DDR4 pun merespons dengan cepat. Menurut laporan pasar, harga pembelian dari produsen ke perakit sistem naik antara 22 hingga 25 persen untuk kapasitas 8GB dan 16GB. Ini artinya, bukan hanya konsumen akhir yang terkena dampak, tetapi juga rantai distribusi secara keseluruhan.
Namun bukan hanya produsen besar yang memengaruhi dinamika pasar. Pada awal tahun, beberapa perusahaan asal Tiongkok sempat membanjiri pasar dengan chip DDR4 murah, menyebabkan harga sempat terkoreksi. Tapi strategi ini tidak berlangsung lama. Ketika mereka mulai menghentikan produksi demi efisiensi, pasokan global kembali tertekan—dan harga pun melonjak tanpa bisa dikendalikan.
Akibatnya, selisih harga antara DDR4 dan DDR5 semakin menyempit. Kini, di sejumlah pasar, perbedaan harga keduanya hanya terpaut sekitar 7%. Ini mendorong sebagian pengguna mempertimbangkan untuk langsung melompat ke DDR5, meski belum semua platform mendukung teknologi tersebut secara penuh.
DDR4 pertama kali hadir pada 2014 dan sejak itu menjadi tulang punggung dari berbagai perangkat, mulai dari laptop, PC gaming, hingga server kelas menengah. Kelebihannya dalam efisiensi daya dan kecepatan kala itu membuatnya menjadi pilihan utama, menggantikan DDR3 dengan cepat. Tapi teknologi tak pernah berhenti. DDR5, yang dirilis sekitar 2020, menawarkan bandwidth lebih tinggi dan efisiensi daya yang jauh lebih baik—dan kini perlahan mengambil alih tahta.
Bagi para pengguna rumahan yang masih bertahan di sistem berbasis DDR4, situasi ini bisa menjadi dilema. Di satu sisi, upgrade ke DDR5 bisa jadi solusi jangka panjang, namun membutuhkan penggantian motherboard dan prosesor yang mendukung. Di sisi lain, bertahan dengan DDR4 kini semakin mahal, dan dalam waktu dekat, bisa jadi lebih sulit dicari.
Para perakit PC dan pelaku bisnis kecil di bidang IT harus mulai memikirkan strategi transisi, terutama bagi mereka yang masih bergantung pada platform lama untuk alasan biaya atau kompatibilitas software.
Lonjakan harga DDR4 hanyalah sinyal awal dari pergeseran besar dalam dunia perangkat keras komputer. Perkembangan teknologi memang tak bisa dihindari, dan siap atau tidak, kita semua sedang bergerak menuju era baru dengan DDR5 sebagai standarnya. Bagi industri maupun individu, keputusan untuk beradaptasi atau bertahan akan menentukan efisiensi dan keberlangsungan sistem mereka di tahun-tahun mendatang.