Usai Libur Idul Adha, Udara Jabodetabek Diselimuti Polusi

Kuatbaca - Hari pertama kembali beraktivitas setelah libur panjang Idul Adha ternyata tidak disambut dengan langit cerah dan udara segar. Sebaliknya, masyarakat di wilayah Jabodetabek justru harus menghadapi kenyataan pahit: kualitas udara memburuk dan masuk kategori tidak sehat. Data terkini dari sistem pemantauan udara yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa beberapa daerah mengalami peningkatan polusi yang cukup signifikan.
Sejumlah wilayah yang biasanya menjadi pusat aktivitas masyarakat seperti Tangerang, Jakarta, dan Bekasi tercatat memiliki nilai indeks pencemaran yang melebihi ambang batas aman. Kota Tangerang bahkan menempati posisi tertinggi dalam daftar wilayah dengan kualitas udara terburuk pada pagi ini, dengan indeks pencemar udara (ISPU) mencapai angka 122, yang masuk dalam kategori “tidak sehat”.
Deretan Wilayah Terdampak
Selain Tangerang, wilayah-wilayah lain di sekitar ibu kota juga mencatatkan kondisi serupa. Kabupaten Serang, Kabupaten Bekasi, Bantar Gebang, hingga DKI Jakarta sendiri tidak luput dari paparan polusi yang tinggi. Rata-rata indeks pencemaran di daerah-daerah tersebut berada dalam rentang 105 hingga 116, mengindikasikan kualitas udara yang bisa berdampak negatif terhadap kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan.
Situasi ini bukan hanya soal angka statistik. Bagi masyarakat, udara yang tercemar berarti aktivitas luar ruangan menjadi lebih berisiko. Bagi para pekerja harian, pengemudi ojek online, pedagang kaki lima, dan pelajar yang berjalan kaki atau naik angkutan umum, kualitas udara yang buruk bisa memicu batuk, sesak napas, hingga penyakit jangka panjang jika berlangsung terus-menerus.
Mayoritas Wilayah dalam Kondisi Kurang Ideal
Dari total 108 stasiun pemantauan yang terintegrasi dalam sistem nasional, hanya 49 lokasi yang masih mencatatkan kualitas udara dalam kategori baik. Selebihnya menunjukkan status sedang hingga tidak sehat. Sementara itu, sebagian besar wilayah di Jabodetabek mengalami penurunan kualitas udara secara serentak usai masa libur panjang berakhir.
Fenomena ini tidak lepas dari meningkatnya volume kendaraan di jalan, dimulainya kembali aktivitas industri, dan kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Saat musim kemarau, pergerakan angin yang lemah dan suhu yang tinggi membuat partikel polutan sulit terurai dan justru mengendap di atmosfer wilayah perkotaan.
Sumber Polusi: Kendaraan hingga Industri
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sumber utama pencemaran udara di Jabodetabek berasal dari emisi kendaraan bermotor, menyumbang hingga 57 persen terutama saat musim kemarau. Kontribusi dari industri berbahan bakar batubara juga cukup besar, sekitar 14 persen. Ditambah lagi dengan debu dari proyek konstruksi yang aktif di banyak titik kota serta pembakaran sampah terbuka yang masih terjadi di pinggiran kota.
Situasi diperburuk dengan fenomena aerosol sekunder, yaitu terbentuknya partikel kecil dari reaksi kimia polutan di udara yang justru meningkatkan kadar pencemaran secara tidak kasatmata. Kondisi meteorologi seperti inversi suhu dan kelembapan rendah membuat polusi terjebak di lapisan bawah atmosfer.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan komitmennya untuk tidak membiarkan kondisi ini menjadi "normal baru". Sejumlah langkah strategis mulai digalakkan, antara lain pengawasan ketat terhadap kawasan industri, pelaksanaan uji emisi kendaraan di jalan raya, hingga tindakan hukum bagi pelanggar aturan lingkungan, termasuk perusahaan yang kedapatan mencemari udara secara masif.
Sinergi juga dibangun bersama Kementerian Perhubungan dan pihak kepolisian untuk mengatur lalu lintas dan meminimalkan potensi polusi dari sektor transportasi. Harapannya, langkah-langkah ini tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga menjadi strategi jangka panjang untuk memulihkan kualitas udara Jabodetabek yang kian memburuk dari tahun ke tahun.
Di tengah hiruk-pikuk metropolitan, udara bersih seolah menjadi kemewahan yang semakin sulit dinikmati. Namun, kesadaran kolektif dan langkah nyata dari semua pihak—baik pemerintah, pelaku industri, maupun masyarakat—masih bisa menjadi harapan untuk perubahan.
Karena pada akhirnya, udara bersih bukan hanya hak generasi saat ini, tetapi juga warisan penting bagi masa depan.