Tambang Pasir Rusak Ekosistem Pulau Citlim, KKP Bergerak Cepat

Kuatbaca - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menunjukkan ketegasannya dalam melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Kali ini, fokus pengawasan tertuju pada Pulau Citlim, sebuah pulau kecil yang terletak di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Dalam kunjungan inspeksi mendadak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, ditemukan fakta mencengangkan: satu perusahaan tambang pasir masih aktif beroperasi di tengah kerusakan parah yang telah terjadi di wilayah tersebut.
Satu Izin Aktif, Dua Mati, Tapi Dampak Tetap Menghantui
Dalam inspeksi itu terungkap bahwa dari tiga perusahaan yang sebelumnya mengantongi izin usaha pertambangan (IUP), hanya satu yang izinnya masih berlaku. Namun, meski dua lainnya sudah berhenti beroperasi karena masa izin telah habis, jejak kehancuran yang mereka tinggalkan masih sangat terasa. Penambangan yang berlangsung selama ini terbukti telah mengikis sempadan pantai dan mengubah bentang alam pulau yang hanya seluas 22,94 kilometer persegi itu.
Pulau Citlim sendiri masuk dalam kategori pulau kecil berdasarkan klasifikasi KKP—pulau dengan luas di bawah 100 kilometer persegi. Ini berarti pengelolaannya sangat ketat dan harus memperhatikan aspek kelestarian ekologis secara serius. Namun yang terjadi justru sebaliknya: pasir diambil secara masif, vegetasi pantai rusak, dan ekosistem laut di sekitarnya ikut terancam.
Ekosistem Pesisir Terancam Lenyap
Penambangan pasir bukan sekadar soal mengambil material dari alam, tetapi menyentuh langsung keberlanjutan hidup berbagai makhluk di sekitar pantai. Sempadan pantai adalah kawasan penyangga yang sangat vital—fungsinya bukan hanya mencegah abrasi, tapi juga menjadi rumah bagi beragam biota laut, seperti terumbu karang, rumput laut, dan berbagai spesies ikan kecil. Kerusakan di area ini ibarat membuka pintu bagi bencana ekologis dalam jangka panjang.
Selain itu, Pulau Citlim dan perairan di sekitarnya dikenal sebagai salah satu zona produktif perikanan kecil. Kerusakan akibat tambang otomatis berdampak pada hasil tangkap nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dari laut. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu persoalan sosial yang lebih luas: kemiskinan, pengangguran, dan migrasi paksa dari komunitas pesisir.
Langkah Tegas: Pengawasan dan Penegakan Hukum
Merespons temuan tersebut, KKP tidak tinggal diam. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) kini tengah menyiapkan tindak lanjut berupa pengawasan ketat dan proses hukum terhadap aktivitas pertambangan yang melanggar aturan. Langkah ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk menegakkan Undang-Undang yang melindungi wilayah pesisir dan pulau kecil dari eksploitasi berlebihan.
Sejak Maret 2024, pengawasan terhadap pemanfaatan pulau kecil semakin diperkuat dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023. Putusan itu secara tegas menekankan bahwa semua aktivitas pemanfaatan sumber daya alam di pulau kecil harus mengikuti prinsip keberlanjutan lingkungan dan tidak boleh diskriminatif. Artinya, meski pemilik modal bisa mengajukan izin, mereka tidak boleh melanggar prinsip dasar perlindungan ekosistem.
Pulau Citlim menjadi contoh nyata betapa rentannya pulau-pulau kecil di Indonesia terhadap tekanan industri ekstraktif. Tanpa pengawasan ketat, aktivitas seperti tambang pasir bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa memperhitungkan dampak ekologis yang ditimbulkannya. Kini, dengan sorotan dari KKP dan langkah hukum yang akan diambil, masyarakat berharap pulau ini tidak menjadi korban abai lagi.
Ke depan, tantangannya bukan hanya menindak pelanggar, tetapi memastikan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis pada keberlanjutan. Regulasi yang sudah ada harus ditegakkan tanpa kompromi. Investasi boleh masuk, tetapi bukan dengan mengorbankan laut, pantai, dan kehidupan masyarakat pesisir.