Misteri Prasasti Sitopayan II: Jejak Awal Aksara Batak di Sumatera Utara

Kuatbaca - Desa Sitopayan, terletak di Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, menjadi saksi bisu bagi penemuan sejarah. Di sana, Prasasti Sitopayan II ditemukan, menghadirkan kepingan masa lalu yang bernilai tinggi. Prasasti ini, tertulis dalam aksara Jawa Kuno dan aksara Batak, membawa kita pada petualangan awal pengembangan aksara Batak.
Bukti Awal Perkembangan Aksara Batak
Menurut ahli epigrafi, Robert von Heine Geldern, Prasasti Sitopayan II menyimpan keunikan sebagai contoh paling awal dari aksara Batak. Keberadaan prasasti ini tidak hanya sebagai benda sejarah, tetapi juga menjadi bukti perkembangan aksara Batak di wilayah Sumatera Utara.
Keberadaan Prasasti Sitopayan II: Tanda Awal Perkembangan
Prasasti Sitopayan II, ditemukan pada tahun 1930-an, kini disimpan dengan cermat di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara. Terukir dalam batu andesit, prasasti ini memberikan wawasan singkat namun berharga tentang awal perkembangan aksara Batak. Dengan hanya dua baris kalimat, prasasti ini menyimpan kisah tentang pembangunan wihara oleh empat tokoh untuk Sri Maharaja.
Analisis Tulisan yang Membuka Tabir Masa Lalu
Meskipun tulisannya telah mengalami aus seiring waktu, prasasti ini tetap menjadi tanda penting dalam pemahaman sejarah. Beberapa perbedaan pembacaan antara ahli epigrafi membuka ruang diskusi dan interpretasi yang menarik. Rita Margaretha Setyaningsih dan FDK. Bosch memberikan transkripsi yang sedikit berbeda, menghadirkan tantangan untuk merangkai kembali potongan sejarah yang hilang.
Prasasti Sitopayan II menyebutkan keberadaan empat tokoh utama, yaitu Pu Sapta, Hang Buddhi, Sang Imba, dan Hang Langgar. Kisah singkat ini menggambarkan mereka sebagai pembangun wihara untuk Sri Maharaja, yang merupakan gelar seorang raja di wilayah Padang Lawas Utara. Mereka, bagai pionir, menjadi bagian dari jejak awal peradaban di Sumatera Utara.
Analisis bentuk dan karakteristik aksara membawa dugaan bahwa Prasasti Sitopayan II dibuat pada abad ke-13. FDK Bosch dan Goris mengaitkan nama-nama tokoh dalam prasasti sebagai chandrasangkala (kronogram), mewakili angka 7, 5, 1, dan 1. Dengan asumsi ini, diperkirakan prasasti ini diciptakan pada tahun 1157 Saka atau 1235 Masehi.
Prasasti Sitopayan II memberikan kita jendela langka ke masa lalu Sumatera Utara, menyaksikan perkembangan awal aksara Batak. Keberadaannya adalah panggilan untuk menjelajahi lebih dalam sejarah dan kekayaan budaya Indonesia yang tak ternilai. Begitu banyak yang dapat dipelajari dari setiap goresan aksara yang terpahat dalam batu, menjadi saksi bisu zaman yang terlupakan.
Sementara Prasasti Sitopayan II memberikan bocoran tentang masa lalu, kita juga diingatkan bahwa ini hanyalah permulaan. Masa lalu yang terjelajahi adalah undangan untuk menggali lebih dalam, merangkai cerita panjang yang masih menyimpan banyak misteri. Desa Sitopayan, dengan prasastinya, menjadi pintu gerbang bagi penelusuran lebih lanjut ke akar budaya yang kaya dan beragam di Indonesia.
Jelajahi keindahan sejarah dan budaya Indonesia dengan berbagai artikel menarik. Sumber referensi: Nasoichah, Churmatin. (2012). "Prasasti Sitopayan 1 & 2: Tinjauan Aspek Ekstrinsik dan Intrinsik." BAS, 15 (1): 11-29.