Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Banten

Kuatbaca.com - Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah menjadi penguasa jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Sunda.
Salah satu faktor kemajuan kerajaan ini adalah lokasinya yang strategis, yakni di dekat Teluk Banten.
Kerajaan Banten berdiri sejak abad ke-16 dan bertahan hingga awal abad ke-19.
Kerajaan Banten menikmati masa kejayaannya ketika berada di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, yang berkuasa antara 1651-1683.
Berikut ini kehidupan sosial dan budaya Kerajaan Banten.
Kehidupan sosial Kerajaan Banten
Sebelum berdiri kerajaan Islam Banten, wilayahnya merupakan bagian dari Kerajaan Sunda di mana mayoritas masyarakatnya beragama Hindu dan Sunda Wiwitan.
Raja Kerajaan Banten yang pertama adalah Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, salah satu anggota Wali Songo.
Sejak Maulana Hasanuddin memerintah, kehidupan sosial masyarakat Banten pun secara berangsur-angsur berubah.
Pengaruh Islam semakin kuat menyebar di masyarakat, bahkan hingga ke pedalaman.
Masyarakat yang menolak pengaruh Islam dan memilih mempertahankan tradisi-tradisi serta kepercayaan lamanya, menyingkir ke pedalaman.
Mereka inilah yang dikenal sebagai Suku Badui, yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
Selain dipengaruhi agama, perubahan pada kehidupan sosial masyarakat Banten juga dipengaruhi oleh perekonomian kerajaan.
Kerajaan Banten merupakan kerajaan maritim, di mana kehidupan perekonomiannya bertumpu pada perdagangan internasional.
Pelabuhan banten ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negeri, mulai dari pedagang Eropa, Arab, Iran, India, China, dan masih banyak lainnya.
Banyaknya pedagang dari berbagai negara yang singgah, kemudian ada juga yang menetap, memberikan pengaruh terhadap pola hubungan sosial masyarakat Banten.
Salah satu tandanya dapat dilihat dari munculnya permukiman yang dihuni oleh etnis yang sama, seperti Pecinan (kampung China), Keling (kampung India), Kampung Melayu, dan Kampung Banda.
Hingga masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, kehidupan sosial masyarakat Banten cukup damai.
Pasalnya, para sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa diasingkan Belanda pada 1683, kemakmuran rakyat merosot tajam.
Campur tangan Belanda dalam berbagai urusan kerajaan juga memicu banyaknya pemberontakan dari rakyat Banten.
Kehidupan budaya Kerajaan Banten
Banyaknya pedagang asing di wilayah Kerajaan Banten juga menghasilkan pertukaran budaya.
Hal itu terjadi bersamaan dengan perpindahan pengalaman berdagang antara pedagang asing dengan rakyat Banten.
Dalam sejarah Kerajaan Banten, tidak dicatat adanya konflik antarpedagang berdasarkan sentimen kesukuan.
Diperkirakan, para pedagang bersikap toleran dan terbuka pada perbedaan pandangan budaya, sehingga dapat hidup berdampingan dan saling berlajar serta menghargai kekhasan budaya masing-masing.
Salah satu hasil kebudayaan Kerajaan Banten yang masih dapat dilihat saat ini adalah Masjid Agung Banten.
Masjid Agung Banten merupakan peninggalan Kerajaan Banten yang berdiri di wilayah Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang.
Masjid yang dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin ini terkenal akan keunikan arsitekturnya.
Bangunan Masjid Agung Banten merupakan bentuk akulturasi budaya Hindu Jawa, China, dan Eropa.
Bangunan utama masjid memiliki ciri-ciri sebagaimana masjid Jawa kuno lainnya. Salah satu ciri khususnya adalah terdapat gapura pada keempat arah mata angin.
Atap bangunan utama masjid berwujud tumpuk lima, mirip dengan pagoda China. Bagian ini dirancang oleh Cek Ban Cut.
Sedangkan perpaduan budaya Islam dan Eropa pada Masjid Banten ditunjukkan dengan adanya tiyamah atau paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti.
Bangunan tiyamah berbentuk segi empat panjang dan bertingkat dua lantai.
Perpaduan unsur Jawa, Eropa, dan China menyatu sempurna pada arsitektur Masjid Agung Banten.
Referensi:
Soraya, Nyayu. (2020). Islam dan Peradaban Melayu. Serang: Desanta Muliavisitama.