Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Tanjung Priok 1984, Apa yang Terjadi?

12 September 2023 17:54 WIB
4065013476.JPG

Kuatbaca - Hari ini, 39 tahun yang lalu atau tepatnya pada 12 September 1984, terjadi kerusuhan berdarah di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Kerusuhan yang melibatkan angkatan bersenjata ini merupakan salah satu kerusuhan besar dan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru era Presiden Soeharto.

Sampai saat ini, banyak perbedaan pendapat terkait jumlah korban tewas dan luka-luka dari peristiwa tersebut.

1. Asas tunggal Pancasila

Dilansir dari Kompas.com, Kamis (3/8/2023), pada 1980-an, pemerintah Orde Baru sedang gencar-gencarnya untuk menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal.

Namun kebijakan ini mendapat protes di kalangan masyarakat. Salah satunya dari kelompok yang bernama Petisi 50.

Kelompok ini terdiri dari sejumlah tokoh seperti Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Kapolri Jenderal Purn Hoegeng Imam Santoso, mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, dan eks pemimpin Masyumi Mohammad Nasir.

Kelompok tersebut menilai bahwa Soeharto mempolitisasi Pancasila pada saat itu.

2. Sebelum kejadian

Pada 7 September 1984, Sersan Hermanu yang merupakan anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) meminta brosur dan spanduk berisi kritikan kepada pemerintah dicopot.

Dilansir dari Kompas.id (13/9/2021), Hermanu mendatangi mushala Assa’addah dan meminta masyarakat untuk mencopotnya.

Keesokan harinya, ia kembali datang dan masih menemukan brosur serta spanduk kritik terhadap pemerintah di dinding mushala.

Ia lantas marah dan mengambil pistol sambil menuding-nuding warga yang ada pada saat itu.

Banyak warga menceritakan, Hermanu masuk ke dalam hingga podium mushala tanpa melepas sepatunya.

Warga pun marah dan meminta Hermanu untuk meminta maaf kepada pengurus dan semua umat Islam.

Melihat kondisi semakin tidak kondusif, pengurus mushala bernama Syarifuddin Rambe dan Ahmad Sahi mencari Hermanu untuk menyelesaikan masalah dengan damai.

3. Upaya damai gagal

Hermanu kemudian datang ditemani Sertu Rahmad untuk bersedia berdialog dengan pengurus mushala.

Namun, dirinya menolak meminta maaf dengan dalih bahwa ia merupakan petugas yang berhak menjaga keamanan dan ketertiban.

Desakan warga membuat Hermanu naik pitam. Meski begitu, pengurus mushala tetap meminta masalah diselesaikan secara damai.

Di sisi lain, keberadaan Hermanu yang diketahui warga membuat mereka mendatangi secara paksa.

Warga yang marah berupaya menangkap Hermanu pada 10 September 1984. Saat itulah, mereka membakar sepeda motor milik Hermanu.

Lantaran situasi makin tak terkendali, pertemuan yang bertujuan untuk mendamaikan itu pun tak membuahkan hasil yang baik dan bubar.

Namun tiba-tiba, datang aparat Kodim 0502/Jakarta Utara menangkap dua pengurus mushala dan dua orang warga.

Adapun keempat orang yang ditangkap yakni Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan Muhammad Nur.

Empat orang itu ditangkap lantaran terlibat dalam aksi pembakaran sepeda motor Babinsa.

4. Kerusuhan tak dapat terhindarkan

Dua hari setelah penangkapan empat warga akibat pembakaran motor, Amir Biki yang merupakan seorang pimpinan dari Forum Studi dan Komunikasi 66 bersama warga mendatangi Kodim 0502 pada 12 September 1984.

Mereka mendatangi Kodim 0502 dengan niatan meminta keempat orang yang ditahan untuk segera dibebaskan.

Sayangnya, upaya Biki tidak ditanggapi dengan baik. Ia dan demonstran lainnya dihadang aparat keamanan di depan Polres Jakarta Utara.

Pada saat itu, aparat berusaha melakukan tindakan persuasif untuk membubarkan massa yang berdemo.

Menurut keterangan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketetiban LB Moerdani, dari arah demonstran ada sejumlah provokator yang membawa senjata tajam dan bensin.

Hal itu menjadi alasan aparat keamanan untuk bertindak tegas dengan memberikan tembakan peringatan, namun tidak digubris oleh demonstran.

Akhirnya, aparat melakukan langkah terakhir dengan menghujani timah panas ke arah massa dan mengakibatkan banyak korban berjatuhan tewas atau terluka.

5. Setelah kejadian

Setelah kejadian itu, banyak pihak yang menyayangkan tindakan angkatan bersenjata saat peristiwa berlangsung.

Dikutip dari Kompas.com (13/9/2021), banyak tanggapan muncul bahwa peristiwa ini telah melanggar HAM dan harus segera diselesaikan.

Kasus kemudian berlanjut hingga sidang subversi. Sejumlah orang diadili atas tuduhan melawan pemerintahan yang sah.

Dua orang terdakwa Salim Qadar dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan Tonny Ardie 17 tahun 6 bulan penjara.

Setelah kerusuhan itu, pihak militer mengatakan bahwa aksi penembakan dipicu oleh seorang pria berpakaian militer yang membagikan selebaran antipemerintah.

Jenderal Hartono Rekso Dharsono kemudian ditangkap lantaran ia diduga menghasut kerusuhan tersebut.

Setelah menjalani sidang empat bulan, ia divonis bersalah. Ia dibebaskan pada September 1990 setelah dipenjara selama lima tahun.

Berdasarkan catatan resmi, diketahui terdapat 24 korban tewas dan 52 orang lainnya mengalami luka-luka.

Sedangkan masyarakat Priok memperkirakan total ada 400 orang tewas dan hilang.

Dari kerusuhan ini, setidaknya ada 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah serta para pemimpinnya ditangkap dan diadili.

Yang lain, termasuk Amir Biki menjadi korban tewas dalam tragedi berdarah tersebut.

Informasi

sosial budaya

Fenomena Terkini






Trending