Banyak Perempuan Adat Sulit Berpartisipasi Ruang Publik

Kuatbaca - Lektor Kepala Fakultas Hukum Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo, mengatakan masih banyaknya perempuan adat, terkhusus di wilayah pelosok di Indonesia yang masih belum bisa berpartisipasi secara leluasa di ruang publik.
Berdasarkan pengalamannya meneliti di sejumlah Kawasan Timur Indonesia, termasuk Maluku, NTT dan Papua. Ia menemukan banyaknya perempuan yang belum memiliki akses kebebasan berpendapat, termasuk dilibatkan dalam regulasi daerah.
"Kami yang datang dari kota mau penelitian, tapi karena kami perempuan kami harus diam. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kemudian dengan mereka perempuan lokal terutama pada pertemuan yang berkaitan dengan alih hak guna atas tanah, penyelesaian sengketa, ganti untung, kemudian penyelesaian kekerasan yang berakar pada nilai budaya, bahkan terhadap kasus dimana para perempuan sangat terdampak," jelas Inge.
1. Perempuan Sulit Mengejar Karir dan Pendidikan Lanjut
Guru Besar Bidang Ilmu Sastra dan Gender Universitas Gadjah Mada, Wening Udasmoro menyebutkan masih banyaknya perempuan yang belum bisa mengakses pendidikan, terutama hanya 35% perempuan yang mampu menjangkau pendidikan tinggi setelah lulus SMA di Indonesia. Menurutnya hal ini disebabkan oleh ketimpangan Ekonomi
"Kondisi kemiskinan di Indonesia sebenarnya luar biasa perempuan masih di bawah garis kemiskinan itu banyak sekali, tidak cuma perempuan laki-laki juga. Kemudian rata-rata perempuan yang sekolah yang di atas usia 15 tahun, mereka sulit untuk masuk ke SMA apalagi perguruan tinggi. Jadi rendahnya tingkat pendidikan ini membuat banyak perempuan tidak bisa mengakses pendidikan yang layak," jelasnya.
Hal ini diamini oleh Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN), Dewi Asimah. Menurutnya banyak perempuan yang mengalami terlalu banyak tantangan untuk mencapai cita-citanya, terutama di bidang kehakiman. Ia sendiri menuturkan hanya satu hakim perempuan dari enam hakim lainnya di Kamar Tata Usaha Negara.
"Faktanya boleh saya buka adalah, contohnya di kamar saya, di kamar Tata Usaha Negara itu hanya ada enam hakim, dan hanya satu hakim perempuan. Itu pun, kami boleh dapat dari 10 tahun masa penantian yang panjang. So it's very difficult to find women leadership di Mahkamah Agung. Jadi perbandingannya kurang dari 20%," jelas Dewi.
2. Oknum Polisi dan Pejabat Paling Banyak Intimidasi Pembela HAM Perempuan
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, memaparkan banyaknya aktivis HAM perempuan yang mengalami intimidasi, ancaman, kekerasan hingga kriminalisasi belakangan ini. Ia juga menjelaskan aktor yang paling banyak diadukan ialah oknum yang berasal dari institusi kepolisian, kemudian Lembaga pemerintahan pusat hingga daerah.
"Siapa aktor yang banyak diadukan ketika pembela HAM-pembela HAM tersebut diancam atau terancam? Dalam pengaduan yang diterima Komnas HAM, bukan hanya dalam kasus pembela HAM polisi merupakan institusi yang paling banyak diadukan. Hal lain yang banyak diadukan juga pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan juga institusi lain seperti TNI, Kejaksaan, yang banyak juga sebetulnya sekarang korporasi," kata Atnike
Ia menerangkan, hal itu tidak hanya dialami pembela HAM, tetapi juga oleh aktivis lainnya termasuk untuk isu-isu lingkungan. Intimidasi tidak hanya dilakukan di ruang sosial media, tetapi juga kehidupan pribadinya secara langsung.
"Ini juga sesuatu yang banyak terjadi dengan perkembangan teknologi, doxing. Seseorang yang memperjuangkan persoalan HAM, tiba-tiba nama anak, ibu, istri, suami, rumahnya, nomor KTP, semuanya disebar di media sosial. Kemudian ada kasus-kasus di mana pembela HAM mengalami kekerasan fisik terbunuh, dipukul, diracun, dilecehkan, atau diancam keluarganya, kantornya, organisasi dan kelompoknya," tandasnya