Kuatbaca - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 meninggalkan jejak yang cukup serius dalam lanskap politik dan sosial Indonesia. Baru-baru ini, sebuah laporan yang dirilis oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Monash University Indonesia memperlihatkan fakta mengejutkan terkait konten politik di media sosial selama Pilkada. Dari ratusan ribu unggahan, lebih dari 10% berisi ujaran kebencian yang kerap melekat pada narasi disinformasi yang sistematis dan terstruktur. Ini bukan sekadar persoalan etika digital, melainkan sinyal adanya industri disinformasi yang tumbuh dan beroperasi dengan canggih di ruang maya.
Ujaran kebencian yang tersebar selama Pilkada tidak hanya menimbulkan polarisasi, tapi juga menyerang kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat. Lebih dari 15% dari konten kebencian menargetkan identitas sosial tertentu seperti etnis dan agama. Ini jelas merupakan ancaman sistemik bagi demokrasi, karena dapat memicu konflik horizontal yang membahayakan kohesi sosial. Disinformasi dalam politik semakin mengkhawatirkan ketika digunakan sebagai alat manipulasi, termasuk dengan menebarkan sentimen negatif terhadap kelompok minoritas seperti warga keturunan Arab dan Tionghoa, yang digambarkan sebagai “penyebab masalah sosial.”
Fenomena ini diperparah oleh keberadaan jaringan yang sengaja mengkoordinasikan penyebaran konten bermuatan kebencian. Jaringan ini terdiri dari buzzer, akun palsu, hingga bot yang secara masif mereplikasi dan menyebarkan disinformasi. Keberadaan cyber armies ini menunjukkan evolusi penyebaran hoaks yang dulu sporadis, kini menjadi industri terstruktur yang memanfaatkan platform media sosial untuk mencapai target politik dan ekonomi. Platform pun sulit menindak karena modus operandi mereka yang kompleks dan tersembunyi.
Salah satu penyebab utama merajalelanya disinformasi adalah desain algoritma media sosial yang secara otomatis memperkuat konten yang paling banyak menarik perhatian, termasuk yang provokatif dan kontroversial. Algoritma ini mendorong terbentuknya echo chamber, di mana pengguna hanya terpapar konten yang menguatkan pandangan mereka sendiri, sehingga memperdalam polarisasi. Kecenderungan alami manusia untuk menerima informasi yang sesuai dengan prasangkanya pun memperburuk kondisi ini, membuat verifikasi fakta semakin terabaikan.
Dampak disinformasi bukan hanya soal konflik di ranah digital, tapi sudah merembet ke kehidupan nyata. Masyarakat menjadi lebih skeptis terhadap media arus utama dan institusi publik, menimbulkan krisis legitimasi informasi. Tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap media bahkan mencapai angka signifikan, sehingga memicu kegaduhan dan ketegangan sosial yang nyata di sejumlah daerah, termasuk insiden kekerasan terkait Pilkada di beberapa wilayah. Polarisasi yang diperburuk oleh disinformasi merusak jaringan sosial yang menjadi fondasi demokrasi.
Menghadapi fenomena ini, upaya penanganan disinformasi di Indonesia masih menemui banyak hambatan. Regulasi yang ada belum mampu menjangkau pelaku intelektual di balik jaringan disinformasi, sementara platform media sosial masih kurang transparan dalam pengelolaan konten. Program literasi digital yang ada pun masih sebatas verifikasi teknis, tanpa membekali masyarakat memahami dimensi psikologis dan politik dari disinformasi.
Diperlukan pendekatan terpadu dan menyeluruh, mulai dari penguatan regulasi yang fokus pada penyebar dan pendana disinformasi, peningkatan literasi digital yang holistik, hingga kolaborasi erat antara pemerintah, platform teknologi, akademisi, dan masyarakat sipil. Sistem deteksi dini dan respons cepat harus dibangun agar dapat menekan penyebaran disinformasi secara efektif.
Pelajaran dari Pilkada 2024 jelas menunjukkan bahwa disinformasi bukan ancaman ringan. Jika dibiarkan berkembang, ia dapat merusak proses demokrasi dan tatanan sosial secara keseluruhan. Menjaga integritas ruang publik digital adalah keharusan untuk memastikan demokrasi Indonesia tetap sehat dan inklusif. Semua pihak harus terlibat aktif dalam upaya ini agar masa depan demokrasi digital Indonesia tetap terjaga dari rongrongan disinformasi yang sistemik.