Anak Binaan: Antara Identitas Gender dan Upaya Meraih Keadilan

Kuatbaca - Bagi sebagian besar anak, masa muda adalah waktu untuk belajar, bertumbuh, dan mempersiapkan masa depan. Namun, bagi mereka yang tergolong sebagai Anak Binaan—yakni anak-anak yang tengah menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)—perjalanan hidup tidak selalu berjalan mulus. Mereka harus menghadapi berbagai tantangan, tidak hanya dalam upaya memperbaiki diri, tetapi juga dalam hal penerimaan sosial dan keadilan.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Anak Binaan adalah bagaimana mereka dapat menemukan kembali identitas diri mereka setelah melewati proses hukum. Hal ini menjadi semakin kompleks ketika identitas gender mereka turut menjadi faktor yang memengaruhi perlakuan yang mereka terima, baik di dalam sistem peradilan maupun di masyarakat setelah mereka keluar dari LPKA.
Ketimpangan Perlakuan Berbasis Gender dalam Sistem Hukum
Dalam banyak kasus, sistem hukum yang seharusnya bersifat adil sering kali masih memiliki bias, terutama bagi mereka yang memiliki ekspresi gender berbeda. Anak-anak yang mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ+ atau memiliki ekspresi gender yang tidak sesuai dengan norma sosial cenderung menghadapi diskriminasi lebih besar, baik dalam proses hukum maupun selama menjalani pembinaan.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa anak-anak dengan identitas gender non-konvensional sering mengalami stigma dan perlakuan tidak setara, baik dari aparat penegak hukum, petugas lembaga pembinaan, maupun dari sesama penghuni LPKA. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sistem peradilan kita benar-benar inklusif dan adil bagi semua orang, termasuk mereka yang berada dalam spektrum gender yang lebih luas?
Dampak Stigma terhadap Reintegrasi Sosial
Ketika seorang anak binaan menyelesaikan masa pembinaannya, tantangan baru muncul dalam bentuk reintegrasi sosial. Masyarakat sering kali masih memandang mereka sebagai individu yang telah "bermasalah" dan sulit untuk diterima kembali, terutama jika mereka memiliki identitas gender yang berbeda dari mayoritas.
Stigma ganda yang melekat pada Anak Binaan—baik karena masa lalu mereka dalam sistem peradilan maupun karena identitas gender mereka—membuat mereka lebih rentan terhadap diskriminasi dalam dunia pendidikan, pekerjaan, hingga kehidupan sosial. Kesulitan ini sering kali membuat mereka kembali ke lingkungan lama yang tidak sehat, sehingga memperbesar risiko mereka untuk kembali terlibat dalam tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Langkah Menuju Keadilan yang Lebih Inklusif
Agar keadilan dapat benar-benar dirasakan oleh semua pihak, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi Anak Binaan, terutama yang menghadapi diskriminasi berbasis gender. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
Pelatihan Sensitivitas Gender bagi Aparat Hukum
Aparat penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim, perlu mendapatkan pelatihan tentang isu-isu gender agar dapat memperlakukan setiap individu dengan adil, tanpa bias atau diskriminasi.
Lembaga Pembinaan Khusus Anak harus memastikan bahwa semua anak mendapatkan perlakuan yang setara, tanpa diskriminasi berdasarkan gender atau orientasi seksual. Sistem pembinaan juga perlu memasukkan pendekatan yang lebih inklusif agar semua anak binaan merasa aman dan dihormati.
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam menciptakan program reintegrasi yang ramah bagi mantan Anak Binaan. Ini termasuk penyediaan akses pendidikan, pelatihan keterampilan, dan kesempatan kerja yang tidak mendiskriminasi individu berdasarkan masa lalu atau identitas mereka.
Mengubah stigma masyarakat adalah tantangan besar, tetapi bukan hal yang mustahil. Kampanye kesadaran publik mengenai hak-hak anak dan keberagaman gender dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi semua orang.
Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Namun, realitas yang dihadapi oleh Anak Binaan, terutama yang memiliki identitas gender non-konvensional, masih dipenuhi dengan tantangan dan diskriminasi.
Agar sistem hukum dan masyarakat benar-benar adil dan inklusif, diperlukan perubahan dalam cara pandang dan kebijakan yang lebih progresif. Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak—baik pemerintah, masyarakat, maupun institusi pendidikan dan dunia kerja—maka anak-anak yang pernah mengalami kesulitan dalam hidup mereka dapat kembali bangkit dan meraih masa depan yang lebih baik.