Kuatbaca - Isu seputar revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kembali memicu perbincangan publik. Bukan hanya karena substansinya yang menyentuh area sensitif kewenangan militer, tetapi juga karena munculnya narasi negatif yang beredar di media sosial. Salah satu nama yang kini mencuat dalam pusaran kontroversi ini adalah advokat Marcella Santoso.
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia tak tinggal diam menyikapi maraknya konten-konten digital yang dinilai mendiskreditkan revisi Undang-Undang TNI. Dalam beberapa waktu terakhir, pihak TNI melakukan serangkaian langkah untuk menelusuri siapa saja pihak yang terlibat dalam produksi serta penyebaran narasi yang dianggap merugikan institusi.
Salah satu langkah konkret yang diambil TNI adalah melakukan koordinasi langsung dengan Kejaksaan Agung. Fokusnya adalah menelusuri peran Marcella Santoso, seorang advokat yang namanya telah disebut-sebut dalam beberapa perkara hukum besar. Pihak TNI menduga Marcella terlibat dalam produksi konten yang menyudutkan proses revisi UU TNI serta kampanye digital bertajuk "Indonesia Gelap".
Investigasi yang dilakukan tak hanya berhenti pada pelaku tunggal. TNI dan Kejaksaan kini juga mendalami kemungkinan adanya jaringan lebih luas yang terlibat dalam menyebarkan narasi negatif tersebut. Indikasi awal menunjukkan adanya aliran dana yang cukup besar kepada berbagai pihak, termasuk buzzer media sosial, lembaga swadaya masyarakat, bahkan sejumlah yayasan.
Jumlah uang yang disebut-sebut dalam pendalaman awal mencapai ratusan juta rupiah hingga jutaan dolar Amerika. Uang tersebut diduga digunakan untuk membiayai pembuatan dan penyebaran konten melalui platform digital, dengan tujuan menciptakan opini publik yang menolak revisi UU TNI.
Narasi yang muncul di media sosial bukan sekadar opini pribadi. TNI mencium adanya dugaan bahwa konten-konten tersebut dirancang secara sistematis oleh pihak-pihak yang memiliki keahlian di bidang komunikasi dan propaganda digital. Marcella diyakini tidak bekerja sendiri. Ada tim kreatif atau pihak eksternal yang diduga disewa untuk mengemas pesan dan menyebarkannya ke ruang publik.
Fokus utama konten tersebut adalah mendiskreditkan revisi UU TNI dengan narasi bahwa revisi itu berpotensi memperluas kekuasaan militer dalam kehidupan sipil, serta mengganggu keseimbangan demokrasi. Padahal, menurut penelusuran awal TNI, isi revisi tersebut hanya mencakup beberapa poin teknis seperti perpanjangan usia pensiun dan pelibatan TNI dalam lembaga-lembaga negara yang sebelumnya memang sudah terjadi secara de facto.
Motivasi di balik penyebaran narasi ini masih menjadi teka-teki. Dugaan sementara menyebutkan bahwa motif politik dan ekonomi bisa saja menjadi pemicu utama. Kontroversi ini terjadi di tengah sejumlah dinamika politik nasional, termasuk pergantian kabinet dan penyusunan ulang prioritas legislasi nasional. Dalam konteks tersebut, revisi UU TNI menjadi salah satu isu strategis yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk kepentingan tertentu.
Pihak TNI kini ingin menggali lebih jauh motif sebenarnya di balik penyebaran narasi negatif ini. Apakah memang bertujuan mengganggu stabilitas politik, atau sekadar menjadi alat tawar-menawar dalam dinamika kekuasaan.
Sementara itu, Marcella Santoso bukan sosok asing dalam dunia hukum Indonesia. Ia diketahui tengah menjalani proses hukum terkait sejumlah perkara besar, mulai dari kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO), kasus timah, hingga dugaan tindak pidana pencucian uang. Dalam pengembangan penyidikan, namanya kembali muncul setelah mengakui pernah membuat narasi digital yang menyerang pejabat tinggi negara.
Namun, dalam pernyataan terbarunya, Marcella membantah bahwa dirinya membuat atau menyebarkan konten negatif terkait revisi UU TNI maupun kampanye “Indonesia Gelap”. Ia menegaskan bahwa tudingan tersebut tidak berdasar, meskipun sebelumnya sempat menyampaikan permintaan maaf dalam sebuah video yang kini juga dipertanyakan keasliannya dan konteks pembuatannya.
Proses hukum terhadap Marcella Santoso dan penelusuran konten negatif soal RUU TNI kini terus berjalan. TNI dan Kejaksaan Agung tengah bekerja sama memperkuat bukti, menyusun kronologi yang utuh, dan mencari tahu siapa saja aktor di balik layar yang turut memainkan peran.
Di tengah ketegangan antara kebebasan berekspresi dan penyalahgunaan media digital, kasus ini menjadi pengingat bahwa penyebaran informasi di era internet harus disertai dengan tanggung jawab hukum dan moral. Institusi negara pun dituntut untuk tetap transparan dalam menyampaikan informasi, sekaligus tegas dalam menghadapi kampanye hitam yang dapat merusak tatanan publik.