Kuatbaca - Sorotan tajam kembali mengarah ke meja hijau, setelah Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan kekecewaannya terhadap fenomena koruptor yang kerap lolos di pengadilan. Dalam sebuah acara resmi yang menghadirkan ribuan hakim, Presiden menyampaikan kemarahannya terhadap lemahnya efek hukum bagi para pelaku kejahatan kerah putih. Aksi penegakan hukum yang terlihat tegas di tahap penangkapan, menurutnya, seringkali melempem saat masuk ke ranah peradilan.
Pernyataan ini bukan hanya menjadi teguran keras bagi institusi hukum, tetapi juga menjadi alarm bagi para penegak keadilan bahwa kepercayaan publik sedang berada di ujung tanduk. Saat negara telah menginvestasikan sumber daya besar untuk membentuk aparat penegak hukum yang andal, hasil akhir dari proses hukum semestinya memberikan efek jera yang sepadan, bukan justru membebaskan pelaku dengan alasan yang mencurigakan.
Menanggapi pernyataan Presiden, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni angkat bicara. Ia menilai bahwa salah satu akar persoalan dalam sistem peradilan saat ini adalah rendahnya kesejahteraan para hakim. Dalam kondisi seperti itu, integritas menjadi taruhan besar. Hakim yang memiliki beban hidup berat sangat rentan terhadap godaan, terutama ketika dihadapkan pada perkara besar yang melibatkan uang dalam jumlah fantastis.
Sahroni menekankan pentingnya pemerintah memperhatikan nasib dan kehidupan para penegak hukum di lini pengadilan. Menurutnya, pemberantasan korupsi tidak bisa berjalan maksimal jika aktor penting di sistem peradilan justru berada dalam tekanan ekonomi. Kesejahteraan bukan semata soal gaji besar, tetapi soal memberi rasa aman, martabat, dan keteguhan moral yang kuat kepada para hakim.
Tak hanya soal kesejahteraan, mekanisme pengawasan terhadap kinerja hakim juga menjadi fokus kritik. Banyak putusan kontroversial yang tidak bisa diakses atau dievaluasi secara menyeluruh oleh publik. Hal ini membuat proses peradilan terkesan tertutup dan jauh dari prinsip akuntabilitas. Komisi III DPR, sebagai mitra pengawasan di sektor hukum dan HAM, menyatakan komitmennya untuk mendorong sistem pengawasan yang lebih ketat dan transparan terhadap putusan-putusan pengadilan.
Pengadilan seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, bukan tempat terakhir para koruptor untuk membersihkan nama mereka. Karena itu, semua keputusan yang diambil para hakim harus dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dan etis. Ini membutuhkan sistem yang bisa memantau kinerja, menilai integritas, serta mengevaluasi jalannya proses hukum dengan lebih komprehensif.
Meski nada Presiden terdengar tegas dan emosional, banyak pihak melihat ini sebagai sinyal kuat bahwa pemerintahan Prabowo Subianto akan lebih serius menindak korupsi secara sistematis. Dukungan dari parlemen pun mulai terbangun. Ahmad Sahroni, dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR, menyatakan pihaknya siap memberikan dukungan politik demi memperkuat agenda antikorupsi yang diusung Presiden.
Dalam waktu ke depan, diharapkan muncul langkah konkret yang tidak hanya berupa teguran moral, tetapi juga kebijakan struktural yang menyentuh akar masalah. Ini termasuk reformasi menyeluruh di tubuh pengadilan, peningkatan kapasitas lembaga pengawas, hingga pembentukan sistem digital yang memungkinkan publik ikut mengawasi jalannya peradilan.
Dengan semua dinamika ini, masyarakat kini menaruh harapan pada satu hal: keadilan yang sejati, bukan sekadar formalitas hukum. Proses hukum yang adil, transparan, dan tidak memihak menjadi kunci utama dalam memperbaiki wajah peradilan Indonesia yang selama ini tercoreng oleh vonis-vonis kontroversial.
Jika kesejahteraan hakim ditingkatkan, pengawasan diperketat, dan komitmen politik terus dijaga, maka upaya untuk memberantas korupsi dari hulu ke hilir bukan lagi impian kosong. Prabowo telah memantik percikan besar, kini giliran lembaga hukum bergerak lebih berani. Karena pada akhirnya, keadilan tidak boleh dijadikan ruang transaksi, melainkan panggung integritas.