Keluh Kesah Parpol Usai MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

Kuatbaca.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Pemilu nasional dan Pemilu daerah tidak boleh digelar bersamaan. Putusan tersebut menjadi hasil dari gugatan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang meminta agar Pemilu tingkat nasional dipisah dengan jeda minimal dua tahun dari Pemilu lokal.
Dalam gugatan bernomor 135/PUU‑XXII/2024, Perludem menyorot beberapa pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. MK kemudian memerintahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah dipisah dengan jarak paling cepat dua tahun dan paling lama 2,5 tahun, terhitung sejak pelantikan angkatan legislatif dan eksekutif.
1. Amar Putusan MK dan Implikasinya
Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan pada Kamis, 26 Juni 2025. Ia menyebutkan bahwa Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak lagi berlaku setelah ketentuan baru diberlakukan. Putusan ini menegaskan pemisahan jadwal pemilu antar tingkat, serta syarat jeda minimal.
Dengan begitu, ke depan, skema pemilu di Indonesia akan berubah: tanpa lagi pelaksanaan serentak untuk eksekutif dan legislatif.
2. Demokrat Soroti Perpanjangan Masa Jabatan DPRD
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Herman Khaeron, menyatakan bahwa pihaknya menghormati keputusan MK sebagai final dan mengikat. Namun, ia menyoroti potensi masa jabatan DPRD yang molor hingga dua tahun.
"Saya paham bahwa keputusan MK final and binding sehingga strategi dan manajemen partai ke depan harus dipersiapkan sesuai keputusan tersebut," ujarnya. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa Demokrat masih mendiskusikan berbagai implikasi, termasuk aspek pembiayaan, sosialisasi caleg, dan potensi harus revisi Undang‑Undang Pemilu.
3. Golkar Ragukan Konsistensi Putusan MK
Wakil Ketua Umum Golkar, Adies Kadir, menilai putusan MK kali ini membuka ruang perdebatan. Ia mempertanyakan peran MK saat memberi norma baru, bukan sekadar membatalkan yang lama, dan mengingatkan putusan MK sebelumnya yang juga sempat berubah.
"Apakah berubah kalau ketua MK-nya atau hakimnya ganti?" katanya. Ia menambahkan bahwa silih bergantinya putusan menimbulkan pertanyaan terkait karakter “final and binding”-nya.
4. PKB Sebut Putusan Terdengar Melampaui UU
Waketum PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal, menyoroti putusan MK yang dinilainya melampaui kewenangan dan Undang-Undang. Ia menyerukan agar MK tetap menjunjung konstitusi lima tahunan dan tidak menyebabkan masa transisi yang berlarut.
"Kalau konstitusinya mengatur pemilu 5 tahun, ya harus konsisten dong," tegas Cucun.
5. PDIP Ingin Pisahkan Pemilu Eksekutif dan Legislatif
Wakil Ketua Komisi II DPR dari PDIP, Aria Bima, mengatakan putusan ini mengejutkan. Ia mengusulkan pemisahan dalam bentuk horizontal: pilpres dan pilkada dipisah dari pemilihan legislatif.
"Pemilu eksekutif dipisah dengan pemilu legislatif gitu," ujarnya, sembari menyatakan PDIP akan menjaga aspirasi tersebut dalam pembahasan revisi UU Pemilu.
6. NasDem: MK Positif Legislator?
Ketua Komisi II DPR dari NasDem, Rifqinizamy Karsayuda, menilai MK kini bertindak layaknya pembentuk norma, bukan hanya pembatal aturan. Ia menyatakan tak setuju kalau MK “positive legislature” yang membuat aturan baru, dan perlu evaluasi terhadap dinamika antar-lembaga negara.
7. Parpol akan Bergerak Bersama
Ketua DPR dan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, memimpin pertemuan antarpartai di DPR untuk membahas putusan MK. Menurutnya, perlu pemahaman menyeluruh terkait potensi perpanjangan masa jabatan dan dampak konstitusionalnya.
"Partai politik akan berkumpul membahas putusan tersebut," terang Puan. PDI Perjuangan disebutnya juga akan menyusun sikap resmi berdasarkan masukan pemerintah, masyarakat, dan pimpinan DPR.