Kuatbaca - Di tengah riuhnya demonstrasi di depan Kantor Gubernur Riau pada Rabu, 18 Juni 2025, sebuah pernyataan mengejutkan datang dari sosok yang tak biasa menyuarakan isu lingkungan: Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan. Namun, bukan hanya karena jabatannya sebagai penegak hukum, melainkan karena ia berdiri bukan atas nama kepentingan negara atau institusi, melainkan atas nama gajah—makhluk besar yang rumahnya kini terusik oleh konflik berkepanjangan.
Di hadapan massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Masyarakat Pelalawan (AMMP), Irjen Herry menyampaikan bahwa dirinya hadir bukan semata untuk menjaga ketertiban, melainkan juga sebagai suara bagi satwa liar yang tidak memiliki wadah untuk menyampaikan keluhan. Sebuah pernyataan simbolik, namun sarat makna. Gajah, dalam konteks ini, menjadi representasi dari semua makhluk hidup yang terpinggirkan oleh ambisi manusia terhadap lahan dan sumber daya alam.
Konflik di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) bukan cerita baru. Kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu ini telah lama menjadi arena tarik-menarik antara upaya pelestarian lingkungan dan desakan kebutuhan ekonomi masyarakat. Sejumlah kelompok masyarakat mengklaim lahan dalam kawasan taman nasional, bahkan mendirikan pemukiman dan melakukan aktivitas pertanian di dalamnya.
Di sisi lain, keberadaan TNTN sangat vital untuk kelangsungan hidup berbagai spesies langka, terutama gajah Sumatera, yang populasinya terus menurun akibat rusaknya habitat. Persinggungan antara manusia dan hewan pun tak terelakkan, menciptakan konflik berkepanjangan yang tak hanya menyisakan kerusakan ekosistem, tetapi juga luka sosial yang sulit disembuhkan.
Kehadiran Kapolda dalam aksi unjuk rasa itu mencerminkan pendekatan baru dari institusi kepolisian—yakni keberpihakan terhadap perlindungan lingkungan hidup. Irjen Herry tampaknya ingin menegaskan bahwa keadilan tak hanya berlaku untuk manusia, tetapi juga untuk seluruh makhluk hidup yang terdampak oleh eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab.
Melalui pernyataannya, ia menantang narasi tunggal soal hak masyarakat, dengan mempertanyakan: bagaimana dengan hak gajah? Bagaimana nasib makhluk hidup yang tak bisa menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami? Ketika rumah mereka dirambah, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa turun ke jalan, membawa spanduk atau berorasi. Dalam konteks inilah, Irjen Herry hadir bukan sebagai penengah, tetapi sebagai representasi dari mereka yang tak bersuara.
Taman Nasional Tesso Nilo bukan hanya ruang hijau yang luas, tetapi juga laboratorium alam yang kompleks. Ia menyimpan keanekaragaman hayati tinggi, tempat hidup bagi berbagai spesies langka yang hanya bisa ditemukan di Sumatera. Namun, sejak bertahun-tahun lalu, taman nasional ini mengalami kerusakan hebat akibat pembalakan liar, perambahan lahan, dan pembakaran hutan untuk dijadikan kebun sawit ilegal.
Data menunjukkan bahwa dari luas kawasan lebih dari 80 ribu hektare, sebagian besar telah berubah menjadi lahan terbuka yang tak lagi alami. Gajah yang dulunya berkeliaran bebas di habitatnya, kini harus berhadapan dengan pagar kawat, manusia bersenjata, dan sawit yang menggantikan hutan. Tidak sedikit pula terjadi konflik antara satwa dan warga, termasuk kematian gajah akibat diracun atau diburu.
Aksi unjuk rasa yang terjadi beberapa hari lalu merupakan bentuk protes terhadap rencana relokasi mandiri yang ditawarkan pemerintah. Masyarakat merasa kehilangan hak atas tanah yang telah mereka tempati bertahun-tahun. Namun di sisi lain, negara dihadapkan pada tanggung jawab untuk mengembalikan fungsi TNTN sebagai kawasan konservasi.
Ini bukan soal siapa yang lebih berhak, tetapi bagaimana menciptakan keadilan ekologis dan sosial secara bersamaan. Untuk itu, peran pemimpin yang memiliki keberanian moral seperti Irjen Herry menjadi sangat penting—sebagai penyeimbang narasi dan penggerak kolaborasi antara manusia dan alam.
Ucapan Kapolda Riau yang viral itu sejatinya mengandung pesan penting: bahwa manusia tidak hidup sendirian di bumi ini. Dalam setiap kebijakan, pendekatan, dan negosiasi atas tanah dan ruang, ada kehidupan lain yang juga bergantung padanya. Gajah bukan sekadar ikon konservasi, mereka adalah bagian dari ekosistem yang kita butuhkan untuk hidup.
Pernyataan itu mungkin terdengar sederhana, namun diucapkan pada waktu dan tempat yang tepat. Sebuah refleksi bahwa menjaga alam bukan soal aktivisme semata, tapi bentuk tanggung jawab moral sebagai sesama makhluk hidup di planet yang sama.