Kuatbaca.com-Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, menyampaikan keprihatinan mengenai pengelolaan barang sitaan yang berada di bawah wewenang Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam rapat kerja bersama Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Sudding menegaskan pentingnya prinsip transparansi dalam seluruh tahapan pemulihan aset, khususnya proses lelang barang sitaan negara.
Permintaan ini dilatarbelakangi kekhawatiran publik mengenai siapa saja yang menjadi pemenang dalam lelang barang sitaan. Beredar asumsi di masyarakat bahwa barang-barang tersebut kembali ke tangan pihak-pihak internal kejaksaan atau yang memiliki kedekatan dengan aparat penegak hukum. Oleh karena itu, kejelasan mengenai mekanisme, kriteria peserta, dan hasil akhir lelang sangat dinanti publik.
Barang sitaan yang dimaksud tidak hanya berupa kendaraan atau barang mewah, tetapi juga meliputi aset strategis seperti bangunan, tanah, hingga saham perusahaan. Karena nilai ekonomisnya yang tinggi, integritas proses lelang sangat penting agar tidak menimbulkan kesan adanya konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang.
Sudding menyoroti bahwa walaupun Kejagung hanya menangani aspek hukumnya, pengelolaan aset setelah disita berada di bawah kendali Badan Pemulihan Aset (BPA) yang juga merupakan bagian dari institusi kejaksaan. Oleh karena itu, kolaborasi antarunit di dalam Kejagung harus dibarengi dengan akuntabilitas yang tinggi.
Dalam kesempatan yang sama, Jampidsus Febrie Adriansyah merespons masukan tersebut dengan menjelaskan bahwa proses lelang terhadap barang sitaan tidak bisa serta merta dilakukan setelah putusan pengadilan. Menurutnya, ada tahapan panjang yang harus dilalui mulai dari pelimpahan aset ke BPA, verifikasi status hukum, hingga kesiapan administrasi lelang.
Febrie menegaskan bahwa tidak semua barang sitaan langsung dapat dilelang. Beberapa di antaranya masih memiliki sengketa hukum atau keterikatan dengan pihak ketiga, seperti adanya hak tanggungan dari perbankan. Hal tersebut menyebabkan proses
pelelangan menjadi lebih lama dari yang diperkirakan masyarakat umum.
Selain itu, Kejagung mengklaim telah berusaha untuk memublikasikan pelelangan barang sitaan melalui saluran resmi. Namun, diakui bahwa efektivitas penyebaran informasi tersebut mungkin belum optimal sehingga publik kurang mendapat akses terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.
Dalam merespons kritik yang menyebut bahwa proses lelang tidak transparan, Febrie menyatakan akan berkoordinasi dengan Kepala Badan Pemulihan Aset untuk meningkatkan keterbukaan informasi. Harapannya, publik bisa mengetahui aset mana saja
yang dilelang, hasil akhir dari proses tersebut, dan berapa nilai yang berhasil dikembalikan ke kas negara.
Masukan dari Komisi III DPR RI menekankan perlunya penguatan fungsi pengawasan terhadap seluruh aset sitaan yang dikelola negara. Proses pengelolaan dan pelelangan barang sitaan seharusnya tidak hanya dilakukan sesuai aturan, tetapi juga dipublikasikan secara luas untuk menghindari persepsi negatif publik.
Ketua dan anggota dewan meminta agar sistem informasi mengenai barang sitaan diperbarui dan dibuka secara daring melalui situs resmi pemerintah. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat memantau langsung daftar aset yang akan dilelang, jadwal lelang, serta siapa yang menjadi pemenang lelang secara transparan.
Selain itu, keterlibatan lembaga eksternal seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BPK, dan bahkan pengawasan publik diharapkan bisa ditingkatkan. Tujuannya agar proses pelelangan tidak menjadi celah bagi oknum yang ingin memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi.
Kejagung juga diharapkan dapat menyusun laporan tahunan yang memuat data lengkap mengenai barang sitaan, progres lelang, serta kontribusi pemulihan aset terhadap pemasukan negara. Laporan tersebut diharapkan bisa diakses oleh publik secara bebas.
Pemulihan aset dari tindak pidana, khususnya korupsi dan tindak pidana pencucian uang, menjadi bagian penting dalam strategi penegakan hukum yang efektif. Bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga memastikan bahwa kerugian negara dapat dikembalikan melalui mekanisme hukum yang sah.
Kejaksaan Agung memiliki peran strategis dalam mengelola barang bukti dan aset hasil kejahatan setelah mendapatkan kekuatan hukum tetap. Dengan semakin meningkatnya nilai aset yang disita setiap tahunnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi hal mutlak untuk menjaga kepercayaan publik.
Jika prinsip transparansi tidak diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka potensi kebocoran, manipulasi, atau penyalahgunaan kewenangan dalam proses lelang bisa merusak kredibilitas lembaga penegak hukum. Karena itu, masukan dari DPR perlu ditindaklanjuti secara serius oleh internal Kejagung.
Dengan penguatan sistem lelang yang transparan dan akuntabel, diharapkan pemulihan aset tidak hanya menjadi simbol penegakan hukum, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi negara dan masyarakat.