Tambang Nikel di Raja Ampat: Izin Dicabut, Satu Bertahan, Legislator Desak Pengawasan Ketat

Kuatbaca - Langkah tegas diambil pemerintah dalam merespons kekhawatiran publik terhadap aktivitas tambang nikel di kawasan konservasi Raja Ampat, Papua Barat Daya. Empat perusahaan tambang resmi dicabut izin usaha pertambangannya (IUP), yakni PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Keputusan ini dianggap sebagai sinyal kuat komitmen pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan, khususnya di kawasan yang dikenal sebagai surga bawah laut dunia.
Namun, dari lima perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut, satu di antaranya masih mempertahankan izin usahanya. PT Gag Nikel (PT GN), yang merupakan anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), tetap diizinkan beroperasi. Hal ini menimbulkan reaksi beragam dari kalangan publik dan legislatif, terutama menyangkut konsistensi kebijakan terhadap pelestarian lingkungan.
Sorotan dari Parlemen
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menyambut baik langkah pemerintah yang mencabut izin empat perusahaan tambang tersebut. Menurutnya, keputusan itu merupakan bukti bahwa negara tidak abai terhadap pentingnya menjaga kawasan ekosistem sensitif seperti Raja Ampat. Ia menekankan bahwa wilayah ini bukan hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga bagi keberlangsungan keanekaragaman hayati laut dunia.
Namun, Sugeng juga menyoroti pentingnya pengawasan lebih ketat terhadap PT Gag Nikel yang masih beroperasi di kawasan tersebut. Meski merupakan aset negara, aktivitas tambang perusahaan pelat merah ini tidak boleh lepas dari pengawasan yang ketat, terutama karena letaknya yang berada dekat atau bahkan dalam kawasan geopark global yang ditetapkan UNESCO.
Perlindungan Lingkungan dan Ekonomi Harus Seimbang
Dalam pandangan Sugeng, perlindungan lingkungan tidak boleh dikompromikan demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Ia mengingatkan bahwa Raja Ampat merupakan rumah bagi sekitar 75 persen spesies laut dunia. Sebagai kawasan konservasi, wilayah ini harus tetap dijaga agar tidak menjadi korban eksploitasi yang berlebihan.
Meski begitu, legislator dari Partai NasDem ini tidak serta-merta menolak keberadaan pertambangan. Ia menegaskan bahwa tambang tetap dibutuhkan sebagai sumber pendapatan negara dan penyerapan tenaga kerja. Namun, operasional tambang harus mematuhi standar keberlanjutan yang ketat, termasuk aspek lingkungan (environment), sosial (social), dan tata kelola (governance)—atau yang dikenal sebagai prinsip ESG.
Menuju Pertambangan Berkelanjutan
Sugeng juga menggarisbawahi pentingnya mengarahkan seluruh kegiatan pembangunan, termasuk di sektor pertambangan, agar sesuai dengan target net zero emission yang telah dicanangkan Indonesia untuk dicapai pada 2060. Dalam hal ini, pengawasan terhadap perusahaan seperti PT Gag Nikel menjadi sangat krusial.
Jika pengelolaan dilakukan sesuai prinsip keberlanjutan dan melalui evaluasi menyeluruh, bukan tidak mungkin kawasan seperti Raja Ampat dapat menjadi contoh sinergi antara pelestarian alam dan manfaat ekonomi. Indonesia, sebagai negara megabiodiversitas, memiliki tanggung jawab global dalam menjaga ekosistemnya, sekaligus memanfaatkan kekayaan alam secara bijaksana.
Pemerintah sendiri menyatakan bahwa PT Gag Nikel tidak ikut dicabut izinnya karena telah memenuhi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan menunjukkan kinerja operasional yang baik. Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa PT Gag Nikel merupakan aset negara yang masih layak untuk beroperasi selama tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Meski begitu, Bahlil menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberi arahan langsung agar pengawasan terhadap aktivitas PT Gag Nikel dilakukan secara ketat dan berkelanjutan. Tidak hanya dari sisi administratif, namun juga secara teknis di lapangan untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran yang dapat merusak ekosistem Raja Ampat.
Keputusan pemerintah ini menjadi titik awal penting, namun bukan akhir dari perdebatan soal tambang di kawasan konservasi. Masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan akademisi terus memantau langkah pemerintah dalam memastikan agar janji pelestarian tidak hanya berhenti pada pencabutan izin empat perusahaan.
Transparansi, pelibatan masyarakat lokal, serta akuntabilitas dalam pelaporan dampak lingkungan menjadi hal mutlak agar tambang yang masih beroperasi tidak melanggar batas-batas konservasi. Hanya dengan komitmen kuat di semua level—pemerintah, swasta, dan masyarakat—Indonesia bisa menjadi teladan dalam menjaga alam sekaligus memajukan ekonomi secara berkelanjutan.