Sektor Kelistrikan Tawarkan 1,7 Juta Lapangan Kerja, Bahlil Tegaskan: “Supaya RI Terang”

Kuatbaca - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 bukan hanya soal memenuhi kebutuhan energi nasional. Lebih dari itu, RUPTL diharapkan menjadi pendorong utama bagi penciptaan lapangan kerja yang masif untuk masyarakat Indonesia. Dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Senin (26/5/2025), Bahlil memproyeksikan sektor kelistrikan akan menyerap sekitar 1,7 juta tenaga kerja selama sepuluh tahun ke depan.
RUPTL: Pilar Transisi Energi sekaligus Penggerak Ekonomi
Bahlil menjelaskan bahwa RUPTL yang baru dirilis oleh PT PLN (Persero) merupakan peta jalan pengembangan kelistrikan nasional yang berfokus pada transisi energi, terutama dari sumber fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Namun, yang tidak kalah penting adalah efek bergandanya terhadap penciptaan lapangan pekerjaan.
“RUPTL ini bukan hanya soal menyalakan listrik, tapi bagaimana kita memastikan Indonesia terang dan masyarakatnya mendapatkan manfaat ekonomi langsung dari pembangunan ini,” ujar Bahlil.
Dari total tenaga kerja yang akan terserap, sekitar 836.696 orang akan terlibat di sektor pembangkit listrik, mulai dari manufaktur, konstruksi, hingga operasi dan pemeliharaan. Sisanya, yaitu 811.132 tenaga kerja, akan fokus pada segmen transmisi, gardu induk, dan distribusi.
Dominasi “Green Jobs” dalam Penyerapan Tenaga Kerja
Menariknya, Bahlil menyoroti bahwa sebagian besar pekerjaan yang akan diciptakan berasal dari sektor energi hijau atau “green jobs.” Dari angka 836.696 pekerja di sektor pembangkit, lebih dari 90 persen—atau tepatnya sekitar 790.000 pekerja—akan bekerja dalam proyek-proyek energi terbarukan.
Ini menjadi indikator positif bahwa RUPTL juga menjadi bagian dari komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi karbon dan mendukung agenda keberlanjutan lingkungan.
Peluang Investasi Miliaran Triliun Rupiah
Selain potensi penyerapan tenaga kerja, RUPTL juga membuka peluang investasi yang sangat besar. Total investasi yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp 2.967,4 triliun, tersebar di berbagai segmen. Investasi terbesar dialokasikan untuk pembangunan pembangkit listrik, sebesar Rp 2.133,7 triliun. Sisanya digunakan untuk pengembangan jaringan transmisi, gardu induk, serta teknologi pendukung seperti smart grid.
Bahlil membagi periode investasi ini menjadi dua tahap. Lima tahun pertama (2025-2029) diperkirakan ada alokasi investasi sekitar Rp 1.173,94 triliun. Sementara pada lima tahun kedua (2030-2034), anggaran investasi naik signifikan menjadi Rp 1.793,48 triliun. Strategi ini memastikan kesinambungan dan menghindari tumpang tindih pembangunan.
Dari total kebutuhan investasi di sektor pembangkit, sekitar 73 persen akan disalurkan melalui partisipasi swasta, khususnya Independent Power Producer (IPP). Nilai investasinya mencapai Rp 1.566,1 triliun. Mayoritas investasi swasta akan difokuskan pada pembangkit energi baru terbarukan, dengan nilai sekitar Rp 1.341,8 triliun, sementara sisanya Rp 224,3 triliun dialokasikan untuk pembangkit non-EBT.
Sementara itu, PLN sendiri menganggarkan sekitar Rp 567,67 triliun untuk pengembangan pembangkit. Dari jumlah ini, sekitar Rp 340,6 triliun dialokasikan untuk energi baru terbarukan, dan sisanya untuk pembangkit berbasis energi konvensional.
RUPTL 2025-2034 tidak sekadar sebuah dokumen perencanaan, melainkan juga blueprint ambisius bagi Indonesia untuk mencapai kemandirian energi yang bersih dan berkelanjutan. Selain itu, pembangunan sektor kelistrikan menjadi peluang emas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar.
Bahlil optimistis, implementasi RUPTL akan membawa Indonesia menuju masa depan yang terang secara harfiah dan ekonomi yang lebih cerah. “Kita pastikan Indonesia terang benderang, bukan hanya listriknya tapi juga ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya,” pungkasnya.