Kuatbaca - Pasar Mangga Dua di Jakarta kembali menjadi pusat perhatian, bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga dari dunia internasional. Setelah Amerika Serikat melalui United States Trade Representative (USTR) menyebut pasar ini dalam laporan tahunan sebagai salah satu lokasi dengan tingkat peredaran barang bajakan yang tinggi, pemerintah Indonesia pun merespons dengan serius. Kini, rencana inspeksi mendadak atau sidak tengah disusun oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM, sebagai bentuk penegakan perlindungan hak kekayaan intelektual di tanah air.
Dalam waktu dekat, Satgas gabungan yang dibentuk oleh DJKI akan melakukan inspeksi langsung ke lapangan, menyasar kios-kios di kawasan perdagangan yang terkenal ramai tersebut. Tim ini bukan tim sembarangan. Anggotanya terdiri dari berbagai instansi lintas sektor, mulai dari Bea dan Cukai, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), hingga Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tak ingin masalah barang palsu hanya disikapi secara sektoral, tapi harus lintas kementerian karena menyangkut banyak aspek: perdagangan, keamanan digital, hingga integritas sistem logistik nasional.
Meski Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak termasuk dalam tim sidak tersebut, bukan berarti mereka lepas tangan. Kementerian ini tetap aktif melakukan pengawasan terhadap peredaran barang yang tidak sesuai ketentuan. Bahkan, belum lama ini Kemendag melakukan penyitaan barang impor ilegal dengan nilai mencapai Rp 15 miliar. Ini menjadi bukti bahwa Kemendag juga menjalankan fungsinya, khususnya dalam pengendalian mutu dan kepatuhan standar barang di pasar domestik.
Isu pembajakan bukan hanya soal hukum, tapi juga soal martabat bangsa. Ketika sebuah pasar besar seperti Mangga Dua terus-menerus masuk dalam daftar pasar bajakan versi internasional, dampaknya bisa menjalar luas: investor menjadi ragu, citra Indonesia dalam perdagangan global bisa tercoreng, dan industri lokal yang memproduksi barang asli bisa kehilangan pasar. Oleh karena itu, sidak ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah bagian dari strategi nasional untuk membenahi wajah perdagangan Indonesia di mata dunia.
Laporan yang dirilis oleh USTR tidak main-main. Dalam dokumen National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025, Indonesia disebut masih menjadi negara dengan perhatian khusus terkait isu kekayaan intelektual. Pasar Mangga Dua disebut secara spesifik sebagai pusat peredaran barang palsu, baik dari segi hak cipta maupun merek dagang. Tak hanya pasar fisik, beberapa e-commerce lokal juga disebut dalam laporan itu.
Dengan meningkatnya tekanan dari negara-negara mitra dagang, pemerintah Indonesia seolah dipaksa bergerak lebih cepat. Dalam situasi seperti ini, sidak bisa menjadi langkah konkret untuk menunjukkan bahwa Indonesia tak main-main dalam urusan perlindungan HKI.
Langkah penindakan di Mangga Dua tentu bukan akhir dari segalanya. Ini hanyalah pintu masuk dari reformasi yang lebih besar. Pemerintah perlu memperkuat regulasi, meningkatkan edukasi kepada pelaku usaha, serta mempercepat digitalisasi dalam pelacakan dan pengawasan barang. Di sisi lain, publik pun harus diajak untuk lebih menghargai karya asli dan tidak lagi memaklumi praktik pembajakan.
Akhirnya, upaya ini adalah bagian dari perjuangan panjang Indonesia untuk membangun ekosistem perdagangan yang sehat, adil, dan berdaya saing tinggi. Sidak mungkin hanya berlangsung beberapa jam, tapi dampaknya bisa bergaung lama jika diikuti dengan pembenahan yang menyeluruh.