Korupsi Impor Gula: BPKP Ungkap Lima Celah Fatal dalam Skema Ilegal

13 June 2025 21:12 WIB
sidang-kasus-impor-gula-kemandag-1749822323520_169.jpeg

Kuatbaca - Kasus dugaan korupsi dalam impor gula kembali menjadi sorotan setelah audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkap lima penyimpangan besar yang menandai kejanggalan dalam proses pengadaan komoditas tersebut. Temuan itu disampaikan dalam sidang lanjutan untuk terdakwa Charles Sitorus, mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Pengungkapan ini menambah daftar panjang kasus korupsi sektor pangan yang kerap membebani negara, bukan hanya dari sisi keuangan, tapi juga dari sisi kesejahteraan rakyat. Dalam kasus ini, skema manipulatif dilakukan sejak tahap awal pengajuan impor, tanpa koordinasi lintas kementerian sebagaimana mestinya.

Skema Impor di Tengah Surplus Produksi

Salah satu penyimpangan paling mencolok adalah keputusan untuk mengimpor gula mentah justru pada saat Indonesia sedang berada di tengah musim giling—periode ketika produksi gula nasional tengah tinggi-tingginya. Alih-alih menjaga kestabilan pasar dengan memanfaatkan produksi lokal, impor dilakukan secara sepihak yang justru mengacaukan sistem penyerapan hasil petani tebu dalam negeri.

Lebih lanjut, pengadaan gula mentah—yang seharusnya menjadi bahan baku untuk industri—digunakan untuk produksi gula kristal putih konsumsi rumah tangga. Ini melanggar ketentuan dasar penggunaan dan pengendalian distribusi komoditas strategis tersebut. Padahal, stabilisasi harga dan stok seharusnya menjadi tanggung jawab badan usaha milik negara (BUMN), bukan dilimpahkan pada perusahaan swasta yang tak memiliki kewenangan resmi.

Prosedur Impor Tanpa Dasar Hukum yang Jelas

Ketentuan pengadaan gula dalam negeri umumnya dilakukan melalui rapat koordinasi terbatas antar-kementerian. Dalam kasus ini, prosedur tersebut diabaikan. Surat persetujuan impor (PI) diterbitkan tanpa adanya rekomendasi resmi dari Kementerian Perindustrian. Ini membuka celah besar bagi praktik lobi dan permainan harga di belakang layar.

Penerbitan PI yang melibatkan beberapa perusahaan tanpa basis hukum yang kuat menggambarkan betapa longgarnya pengawasan atas proses vital seperti impor bahan pangan. Keputusan yang semestinya berada di tangan lembaga negara menjadi terdistorsi akibat kepentingan kelompok tertentu yang lebih mengedepankan keuntungan bisnis.

Kesepakatan Harga di Balik Layar

Di luar pelanggaran administratif, praktik pengaturan harga secara diam-diam antara perusahaan swasta dan PT PPI menjadi inti dari dugaan korupsi ini. Alih-alih mengikuti harga patokan petani (HPP) yang ditetapkan pemerintah, harga jual gula ditentukan berdasarkan kesepakatan tertutup antar pelaku usaha. Hasilnya: harga gula di tingkat konsumen tidak kunjung stabil, sementara keuntungan mengalir deras ke kantong pihak-pihak tertentu.

Dugaan konspirasi antara Charles Sitorus dan sembilan perusahaan swasta menunjukkan pola kolusi yang kompleks. Beberapa perusahaan diketahui tidak memiliki izin untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula putih konsumsi, namun tetap mendapatkan kuota impor. Ini menjadi bukti bahwa jaringan yang dibentuk dalam kasus ini melibatkan pengambilan keputusan di level atas dengan maksud menguntungkan kelompok terbatas.

Dari hasil audit, BPKP mencatat total kerugian negara dalam kasus ini mencapai lebih dari Rp 578 miliar, di mana hampir Rp 295 miliar di antaranya terkait langsung dengan aktivitas ilegal yang melibatkan Charles Sitorus. Skema ini tak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga mengacaukan pasar domestik dan melemahkan keberlangsungan industri gula nasional.

Selain itu, tindakan ini juga dinilai mencederai kepercayaan publik terhadap integritas proses pengadaan bahan pangan strategis. Ketika pejabat negara dan pelaku bisnis bersatu dalam korupsi, dampaknya langsung dirasakan masyarakat luas: harga gula naik, pasokan terganggu, dan petani lokal merugi.

Kasus impor gula ini sekali lagi menjadi cermin buram pengelolaan sektor pangan di Indonesia. Di saat negara berusaha mandiri dalam produksi, masih saja muncul praktek impor ilegal yang dilakukan oleh orang-orang yang semestinya menjaga kepercayaan publik. Dengan pengadilan yang tengah berjalan, harapan kini tertuju pada penegak hukum untuk membongkar seluruh jejaring korupsi ini hingga ke akar-akarnya.

Masyarakat menanti tidak hanya vonis, tetapi juga perbaikan sistem menyeluruh agar kasus serupa tidak terulang. Karena urusan pangan bukan sekadar angka dalam neraca perdagangan, melainkan menyangkut hajat hidup orang banyak.

pemerintah

Fenomena Terkini






Trending