Korea Utara Hapus Simbol Rekonsiliasi dengan Korea Selatan: Apa yang Terjadi?

Kuatbaca - Korea Utara baru-baru ini membuat langkah besar yang menunjukkan semakin dinginnya hubungan antara kedua negara di Semenanjung Korea. Salah satu simbol persatuan yang selama ini digunakan dalam upaya rekonsiliasi antar-Korea, yaitu lagu "Glad to Meet You", telah dilarang oleh pemerintah Pyongyang. Lagu yang dikenal dengan nama "Bangapseumnida" dalam bahasa Korea, pertama kali dipertunjukkan pada tahun 1991 oleh Pochonbo Electronic Ensemble, sebuah grup musik dari Korea Utara. Sejak saat itu, lagu ini sering diputar dalam berbagai pertemuan resmi antara kedua negara sebagai lambang harapan akan hubungan yang lebih baik.
Namun, pelarangan lagu yang awalnya dianggap sebagai jembatan perdamaian ini bukanlah sebuah kejadian yang sepele. Banyak analis melihatnya sebagai bagian dari tren yang lebih besar: Korea Utara semakin menjauh dari Korea Selatan. Keputusan ini mencerminkan perubahan yang semakin jelas dalam kebijakan luar negeri Kim Jong Un, yang lebih memilih untuk mempererat hubungan dengan negara-negara lain, terutama Rusia, ketimbang menjaga hubungan baik dengan tetangganya di selatan.
Tindakan Pyongyang yang Memperlihatkan Pembekuan Hubungan
Pelabuhan simbolik lainnya yang turut dihancurkan adalah kawasan wisata Gunung Kumgang, yang sebelumnya menjadi tempat simbol persatuan kedua negara. Kawasan ini dulunya dibangun dengan bantuan dari Korea Selatan dan berfungsi sebagai salah satu jembatan untuk mempererat hubungan antar-Korea. Fasilitas seperti hotel, restoran, dan resor golf yang ada di sana menjadi daya tarik wisatawan, terutama dari Korea Selatan, sekaligus menjadi sumber devisa bagi Korea Utara. Namun, sejak insiden penembakan seorang wisatawan Korea Selatan pada tahun 2008, proyek ini terhenti.
Pada 2019, Kim Jong Un melakukan kunjungan ke lokasi tersebut dan memerintahkan penghancuran total bangunan-bangunan di kawasan wisata Gunung Kumgang. Citra satelit terbaru yang dikeluarkan oleh lembaga think tank Stimson Center mengungkapkan bahwa sebagian besar bangunan tersebut kini telah hancur, meninggalkan hanya pondasi yang tersisa. Tindakan ini semakin mengonfirmasi bahwa Korea Utara ingin menghapus jejak-jejak kerja sama dengan Korea Selatan.
Korea Utara Lebih Memilih Rusia
Kebijakan luar negeri Korea Utara, yang kini lebih mengarah ke Rusia, semakin memperburuk hubungan dengan Seoul. Kim Jong Un diketahui semakin aktif dalam mempererat hubungan dengan Rusia, dengan harapan Rusia akan memberikan dukungan militer dan janji perjanjian keamanan yang dapat menguntungkan Pyongyang. Rusia juga berjanji akan membantu Korea Utara dalam konflik dengan Korea Selatan atau Amerika Serikat jika diperlukan. Hubungan yang semakin erat dengan Moskow ini, menurut banyak pengamat, memberi Kim Jong Un lebih banyak kepercayaan diri dan memperkuat posisi Korea Utara, sementara hubungan dengan Korea Selatan semakin tidak diperhatikan.
Sejak pertemuan puncak yang gagal di Hanoi pada Februari 2019 antara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump, Korea Utara semakin merasa kecewa. Kim Jong Un datang dengan harapan tinggi bahwa pertemuan tersebut akan menghasilkan kesepakatan besar, namun yang terjadi justru sebaliknya. Kegagalan pertemuan ini menjadi pukulan besar bagi martabatnya, dan sejak saat itu, hubungan dengan Korea Selatan semakin membeku. Beberapa langkah, seperti penghapusan Korea Selatan dari peta yang ditayangkan di televisi dan revisi konstitusi yang menetapkan Korea Selatan sebagai "musuh utama", semakin memperlihatkan sikap keras Korea Utara.
Pembekuan Hubungan yang Tak Terelakkan
Saat ini, hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan benar-benar membeku. Kedua negara bahkan tidak lagi berkomunikasi satu sama lain. Contohnya adalah peristiwa pada 7 Maret, ketika dua nelayan Korea Utara ditemukan terombang-ambing di perairan Korea Selatan dan diselamatkan oleh penjaga pantai Korea Selatan. Meskipun pihak Korea Selatan berusaha memberitahukan niat baik mereka untuk mengembalikan nelayan-nelayan tersebut, upaya tersebut sama sekali diabaikan oleh pihak Korea Utara.
Rah Jong-yil, mantan diplomat dan pejabat intelijen Korea Selatan, mengatakan bahwa saat ini posisi resmi Korea Utara adalah bahwa kedua negara adalah entitas yang terpisah dan bermusuhan. Oleh karena itu, ia tidak melihat ada peluang bagi kedua negara untuk berdamai dalam waktu dekat. Bahkan, meskipun partai oposisi progresif Democratic Party memenangkan pemilu di Korea Selatan, kemungkinan besar Kim Jong Un tetap akan merasa bahwa lebih banyak keuntungan yang bisa diperoleh dari hubungan dengan Rusia ketimbang dengan Korea Selatan.
Dengan semakin terkikisnya hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, prospek rekonsiliasi kedua negara tampak semakin kabur. Kim Jong Un tampaknya telah sampai pada kesimpulan bahwa hubungan dengan Rusia jauh lebih menguntungkan daripada menjalin kedekatan dengan Seoul. Di sisi lain, meskipun ada upaya dari pihak Korea Selatan untuk membuka komunikasi dan membangun kembali hubungan dengan Pyongyang, banyak pihak yang pesimistis bahwa hal itu akan berhasil dalam waktu dekat.
Apa yang terjadi di Semenanjung Korea saat ini adalah hasil dari perubahan besar dalam dinamika politik internasional, di mana Korea Utara semakin mendekatkan diri pada kekuatan besar seperti Rusia, sementara semakin menjauhkan diri dari tetangganya yang lebih dekat, Korea Selatan. Ke depan, kita hanya bisa menunggu dan melihat apakah ada perubahan sikap dari Kim Jong Un atau jika hubungan ini akan terus membeku lebih lama lagi.