Impor Gula Dinilai Rugikan Petani Tebu, Pendapatan Turun Saat Kebijakan Dikeluarkan

Kuatbaca - Persidangan kasus dugaan korupsi impor gula yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, kembali mengungkap dinamika menyakitkan yang dirasakan para petani tebu di Indonesia. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, hadir sebagai saksi dan memaparkan bahwa kebijakan impor yang dijalankan di masa kepemimpinan Lembong berimbas langsung terhadap pendapatan para petani.
Meski secara makro impor bisa saja dibenarkan demi menjaga stabilitas pasokan dan harga untuk konsumen, persoalannya menjadi kompleks ketika tidak ada komunikasi yang baik dengan para pelaku utama di lapangan—yakni petani. Dalam kenyataannya, masuknya gula impor menyebabkan pasokan domestik menumpuk dan akhirnya menekan harga beli tebu dari petani. Hasil akhirnya jelas: pendapatan petani menurun drastis.
Pasar Domestik Terganggu, Harga Merosot
Masalah utama yang dihadapi para petani bukan hanya soal volume gula yang diimpor, tetapi juga tentang momentum dan jumlahnya yang tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Ketika impor dilakukan dalam jumlah besar di tengah musim panen tebu lokal, industri cenderung lebih memilih bahan baku yang lebih murah dan cepat tersedia—yakni gula impor—ketimbang menyerap hasil petani dalam negeri. Ini membuat gula lokal kalah bersaing di pasar, meski dari sisi kualitas, gula petani tak kalah.
Lebih parah lagi, harga jual tebu petani biasanya bergantung pada lelang terbuka yang melibatkan para pedagang. Namun, begitu isu impor mencuat, pasar langsung merespons dengan penurunan harga. Ketidakpastian ini sangat merugikan petani, yang dalam skema bagi hasil hanya mengandalkan sisa pendapatan setelah dipotong biaya produksi, pengolahan, dan lainnya.
Sistem Harga yang Tidak Menguntungkan Petani
Harga Pokok Penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah selama ini juga belum sepenuhnya berpihak pada petani. Meski ada angka minimum yang disebut sebagai harga toleransi terbawah, kenyataannya banyak petani yang harus menjual di bawah nilai tersebut akibat fluktuasi pasar dan dominasi pedagang besar. Ketika impor masuk tanpa perhitungan matang, nilai HPP yang sudah rendah itu pun makin kehilangan fungsinya.
Petani akhirnya menjadi pihak paling terdampak dalam lingkaran kebijakan yang lebih mengutamakan keseimbangan neraca perdagangan dan stabilitas harga nasional. Padahal, di balik sebatang tebu yang digiling, ada kerja keras berbulan-bulan dari petani yang menggantungkan hidup pada panen yang hanya datang sekali dalam setahun.
Minimnya Keterlibatan Petani dalam Kebijakan
Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam kesaksian di persidangan adalah minimnya pelibatan petani dalam pengambilan keputusan terkait impor. Ketika kebijakan besar seperti impor gula diputuskan tanpa dialog dengan pihak yang paling terdampak, maka hasilnya pun jauh dari keadilan. Pemerintah, dalam hal ini, dinilai kurang memperhitungkan kepentingan petani kecil dalam menjaga keseimbangan ekonomi agrikultur.
Petani bukan menolak impor secara mutlak, namun mereka berharap ada proses yang transparan dan partisipatif. Saat kebutuhan gula nasional tak mencukupi, impor bisa menjadi solusi, tetapi tetap harus memperhatikan waktu yang tepat, volume yang sesuai, dan keberlangsungan industri tebu nasional.
Dalam kasus yang menyeret nama Tom Lembong, jaksa menyebut adanya persetujuan impor gula tanpa koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Langkah ini dituding menyebabkan kerugian negara yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah, sekaligus menimbulkan efek domino ke petani.
Kasus ini menjadi cermin penting bagi pemerintah ke depan. Ketika kebijakan strategis menyangkut pangan dan pertanian diambil secara sepihak, maka yang terpinggirkan adalah petani kecil yang justru menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Kini, proses hukum masih berjalan. Namun satu hal yang pasti, suara petani yang sebelumnya nyaris tak terdengar, kini mulai mendapat ruang di pengadilan. Harapannya, proses ini bisa membuka jalan bagi perbaikan sistem kebijakan pangan dan perdagangan nasional, agar tidak lagi menempatkan petani sebagai korban kebijakan.