Berharap pada DPD, “Majelis Tinggi” dalam “Parlemen” Indonesia

10 October 2024 12:40 WIB
Blue Galaxy Whats New Opening Soon Facebook Post.png

Bono Budi Priambodo

 

Kuatbaca.com - Versi pertama dari artikel ini adalah paparan yang disampaikan kepada Panitia Khusus Rencana Strategis Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Pansus Renstra DPD RI) Periode 2025-2029 di Tangerang Selatan, 7 September 2024

 

Keriaan yang dibawa oleh dilantiknya Alfiansyah Bustomi alias Bang Komeng bersama 151 senator lainnya (01/10) seakan menandai babak baru keberadaan Dewan Perwakilan Daerah dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada saat pelantikan itu, DPD-RI telah genap berusia 20 tahun terhitung sejak berdirinya pada 1 Oktober 2004.

 

Sebagaimana menjadi mafhum, keikutsertaan Bang Komeng dalam pemilihan umum legislatif 2024 sampai dilantiknya sebagai senator menjadi fenomena tersendiri. Dalam pileg itu, banyak warga Jakarta dan daerah-daerah lainnya yang kecewa karena tidak bisa memilih Bang Komeng sebagai calon senator andalannya, karena beliau mewakili Jawa Barat.

 

Ini menandakan –setidaknya dalam kasus Bang Komeng– beliau bukanlah perwakilan daerah Jawa Barat semata, melainkan sejatinya perwakilan rakyat Indonesia seluruhnya. Jangan-jangan ini merupakan suatu sinyal atau indikasi mengenai peran yang harus dimainkan oleh DPD dalam babak barunya ini, yakni, sebagai lembaga perwakilan rakyat yang sejati.

 

Onderdil federal dalam suatu negara unitaris

 

Konon Presiden ke-3 RI Abdurrahman Wahid pernah bertanya kepada Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno, bagaimana jika dalam ketatanegaraan Indonesia terdapat suatu lembaga perwakilan daerah. Pak Try ketika itu memperingatkan, kurang lebih: “Jangan, Gus. Itu seperti memaksakan [memasang] onderdil [mobil Toyota] Kijang pada [mobil] Mercedes-Benz”.

 

Memang demikianlah kenyataannya. Sepintas-kilas agaknya keberadaan DPD dalam Orde Reformasi dapat dimaklumi, mengingat berbagai tuduhan mengenai betapa Orde Baru telah mengeruk kekayaan –atau setidaknya mengabaikan– daerah-daerah untuk memperkaya pusat. DPD tentu dianggap sebagai jawaban masalah itu dan mencegahnya agar tidak terulang lagi.

 

Akan tetapi, jika diamati dalam kebulatan rangkaian amandemen UUD 1945 sepanjang 1999 sampai 2002, tampaklah suatu gambar yang lebih besar. Tema utama amandemen itu adalah (i) menerapkan trias politica dan checks and balances semurni-murninya; dan, (ii) menjadikan pemilihan umum langsung sebagai satu-satunya mekanisme pengisian jabatan publik.

 

Ditambah dengan keberadaan “dewan perwakilan daerah” dalam amandemen ketiga –yang anggota-anggotanya pun disebut senator– tak pelak orang segera menduga sistem federal Amerika Serikat (AS) dijadikan kaca benggala. Kenyataannya, National Democratic Institute –LSM milik Partai Demokrat AS– memang konsultan utama amandemen UUD 1945.

 

Mencapai emansipasi dan keseimbangan dalam 15 tahun

 

Ketika AS baru merdeka pada 1776, pemegang tunggal kekuasaan legislatifnya adalah Continental Congress yang terdiri dari wakil-wakil koloni, yang kemudian menjadi negara-negara bagian. Baru pada 1789 sistem bikameral seperti dikenal sekarang terbentuk, yakni House of Representatives yang mewakili populasi secara proporsional dan Senate yang mewakili negara-negara bagian.

 

Kedua kamar dalam lembaga perwakilan AS ini didisain untuk melakukan checks and balances di antara mereka. House berwenang menginisiasi rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan legislasi perpajakan serta pemakzulan pejabat. Sementara itu, Senate meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, mengadili perkara pemakzulan, dan mengkonfirmasi pengangkatan presiden.

 

Dalam praktiknya, legislasi memerlukan persetujuan dari kedua kamar tersebut, di mana baik House selaku majelis rendah maupun Senate selaku majelis tinggi punya kewenangan yang sama untuk memveto rancangan yang diajukan satu sama lain. Kedua kamar memiliki kekuasaan yang sama besar, sehingga kompromi dan negosiasi di antara keduanya sangat penting artinya agar suatu rancangan undang-undang dapat diberlakukan.

 

Emansipasi dan keseimbangan kekuasaan di antara House dan Senate tercapai tanpa konflik berarti dalam waktu kurang dari 15 tahun; tidak seperti konflik antara majelis rendah dan tinggi di Perancis yang berujung pada serangkaian kekerasan berdarah yang dipicu Revolusi Perancis pada 1789, misalnya, atau antara Bolsheviks dan Mensheviks di Rusia pada 1917, atau Republikan dan Nasionalis di Spanyol pada 1936-1939.

 

Sudah 20 tahun masih tidak dewasa juga

 

Sementara itu, DPD baru hadir dalam kancah ketatanegaraan Indonesia pada 2004, 59 tahun setelah Indonesia merdeka. Kehadirannya memang didorong oleh suatu keprihatinan mendalam akan ketimpangan antara pusat dan daerah, namun kelahirannya terjadi dengan damai, melalui suatu pemilu langsung oleh rakyat. Begitu saja, tiba-tiba –tanpa hiruk-pikuk apalagi huru-hara– “parlemen” Indonesia menjadi bikameral dan memiliki “majelis tinggi”.

 

Namun demikian, majelis tinggi ini ternyata tidak punya kekuasaan berarti. DPD –sebagaimana diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen– hanya berwenang mengawasi, memberi masukan, dan mengevaluasi, sedangkan sebagian terbesar kekuasaan legislatif diselenggarakan oleh saudara tuanya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); meski yang belakangan ini kini disebut sebagai “majelis rendah” dalam “parlemen” bikameral Indonesia.

 

Kenyataannya, sepanjang 20 tahun keberadaannya dalam ketatanegaraan Indonesia, hasil pengawasan, masukan, dan evaluasi DPD selalu diabaikan dan dimasukkan laci oleh DPR. Sementara itu, dalam kurun yang sama sang “majelis rendah” menjelma menjadi kekuatan raksasa dalam perpolitikan Indonesia. Perpaduan antara trias politica a la AS dan pemilu langsung sebagai satu-satunya mekanisme menghasilkan oligarki politik-ekonomi di mana partai-partai politik penguasa DPR menjadi makelar jabatan dan kebijakan publik.

 

Sepanjang 20 tahun itu pula, sang “majelis tinggi” terus-menerus mengemis pada “majelis rendah” yang secara hakiki adalah saudara tuanya, minta diberi kewenangan yang sama dalam legislasi dan penganggaran. Dapat diduga, jawaban DPR selalu saja “tidak”! Jadilah DPD lembaga negara yang nyaris tidak punya pengaruh apa-apa dalam politik dan ketatanegaraan Indonesia, kecuali memberikan lapangan kerja bagi seratusan senator yang jadi anggotanya.

 

Sudah waktunya dewasa!

 

Reformasi sudah berjalan seperempat abad lamanya. Indonesia yang sesungguhnya mulai dengan desain genial dan heroik berupa suatu sistem pemerintahan “sendiri” yang khas –bukan parlementer apalagi presidensial, meski ada presidennya, kini terpuruk dengan sistem politik dan ketatanegaraan yang sudahlah tidak efektif, tidak efisien pula, dengan pemilu-pemilu yang semakin mengandalkan elektabilitas semata tanpa representasi yang bermakna.

 

Rakyat Indonesia sudah lama apatis dan berhenti berharap pada wakil-wakilnya. Umumnya rakyat Indonesia memandang DPR sebagai lembaga korup yang dikuasai oleh partai-partai politik, yang berbagi kekuasaan dan anggaran negara di antara mereka sendiri. Istilah klise seperti “penyalur aspirasi” sudah lama kehilangan makna bagi rakyat. Meski tetap pergi ke bilik-bilik suara setiap pemilu, rakyat tidak pernah betul-betul ambil pusing apakah “aspirasi”nya disalurkan apalagi diwujudkan oleh wakil-wakil yang dipilihnya.

 

Sementara itu, sebagaimana juga anggota-anggota DPR, anggota-anggota DPD sejatinya dipilih langsung oleh rakyat dari seluruh daerah di Indonesia. Bedanya, anggota-anggota DPR terikat pada partai baik di pusat maupun daerah. Anggota-anggota DPD –setidaknya secara nominal– seharusnya bebas dari pengaruh-pengaruh partai. Mereka secara pribadi mewakili rakyat yang secara perorangan juga memilih mereka di daerah masing-masing.

 

Alasan ini saja seharusnya sudah cukup untuk membuat DPD –baik perorangan para senator maupun secara kolektif kelembagaan– percaya diri untuk benar-benar memperjuangkan nasib rakyat Indonesia yang selama ini ditipu mentah-mentah jadi bulan-bulanan partai-partai politik. Sejatinya, DPD adalah salah satu kamar –majelis tinggi pula; dan, karenanya, bagian sah dari parlemen Indonesia –terlepas dari jumlah anggotanya yang lebih sedikit dan ketentuan UUD yang berat sebelah dan membelenggunya.

 

Perjuangan kekuasaan (power struggle) di antara kamar-kamar dalam suatu parlemen sudah jamak terjadi di seluruh dunia sepanjang sejarah. Sudah waktunya Sang Majelis Tinggi Indonesia bersikap lebih asertif terhadap majelis rendahnya. Jika motivasinya adalah demi rakyat Indonesia, perjuangan ini pasti diridhoiNya. Namun jika pertimbangan utama adalah mempertahankan “lapangan pekerjaan”, silakan mengemis sampai kiamat tiba. Biarlah seperti ini saja, toh tidak akan diberi juga oleh sang saudara tua.

 

Hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Bono Budi Priambodo

Dosen Hukum Adat dan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

pemerintah

Fenomena Terkini






Trending