Tren Mobil Listrik di Jakarta: Dibeli Kelas Menengah Atas demi Bebas Ganjil Genap

23 May 2025 12:56 WIB
ilustrasi-mobil-listrik.jpeg

Kuatbaca.com - Tren kendaraan listrik di Jakarta terus mengalami peningkatan. Namun menariknya, mayoritas pembeli mobil listrik di ibu kota berasal dari kalangan menengah atas, bukan konsumen mobil pertama. Motivasi utama mereka membeli mobil listrik bukan semata karena kesadaran lingkungan, tetapi juga untuk menghindari aturan ganjil genap yang berlaku di banyak ruas jalan utama Jakarta.

Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Umum Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia), Kukuh Kumara, yang menyebut bahwa saat ini kendaraan listrik masih didominasi oleh konsumen yang sudah memiliki mobil sebelumnya. Dengan kata lain, mobil listrik dibeli sebagai kendaraan tambahan, bukan kendaraan utama.

“Mereka sudah punya mobil lain, mereka punya uang. Pembelinya ini kelas menengah ke atas, bukan yang level penghasilan Rp 110 juta setahun. Dan umumnya mereka membeli mobil listrik ini untuk mengakali sistem ganjil genap,” ungkap Kukuh.

Aturan ganjil genap di Jakarta memang memberikan pengecualian untuk kendaraan listrik. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2019 secara eksplisit menyebut bahwa mobil listrik tidak termasuk dalam kendaraan yang terkena pembatasan ganjil genap. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat berduit untuk tetap bisa leluasa melintas kapan pun tanpa terganjal plat nomor ganjil atau genap.

Penjualan Mobil Listrik Ungguli Hybrid, Jakarta Jadi Kontributor Utama

Berdasarkan data yang dihimpun Gaikindo hingga April 2025, penjualan mobil listrik di Indonesia telah mencapai 23.952 unit, mengungguli penjualan mobil berteknologi hybrid yang hanya mencatatkan 18.462 unit. Ini menandakan bahwa kendaraan berbasis listrik semakin diminati, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.

Namun, Kukuh menjelaskan bahwa penjualan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dengan Jakarta sebagai kontributor terbesar. Di luar Jakarta dan kota-kota besar lainnya, tren mobil listrik masih tergolong rendah karena berbagai faktor seperti infrastruktur dan daya listrik rumah tangga yang terbatas.

Menurutnya, tantangan terbesar di daerah adalah keterbatasan infrastruktur pengisian daya, serta kekhawatiran konsumen terhadap jarak tempuh dan daya listrik rumah yang tidak mendukung. “Kalau listrik rumahnya cuma 400 Watt, mereka jelas ragu. Itu jadi concern utama di daerah,” katanya.

Kondisi ini membuat mobil listrik masih dianggap sebagai kendaraan urban, yang lebih cocok digunakan di dalam kota besar seperti Jakarta yang sudah relatif siap dari segi fasilitas pengisian daya dan dukungan regulasi.

Mobil Listrik Jadi Kendaraan Tambahan, Bukan Pengganti Mobil Konvensional

Fenomena lain yang muncul adalah bahwa mobil listrik lebih banyak dibeli sebagai kendaraan kedua atau ketiga. Konsumen tidak menjadikan kendaraan ini sebagai pengganti mobil utama mereka. Hal ini terlihat jelas saat momen mudik Lebaran, ketika pemilik mobil listrik justru lebih memilih menggunakan mobil konvensional untuk pulang kampung.

“Waktu Lebaran mereka juga ragu-ragu mau bawa electric vehicle-nya pulang. Mereka tetap pakai mobil biasa, karena pengisian daya di kampung halaman belum tentu tersedia dan listrik rumah mereka tidak mencukupi,” ujar Kukuh.

Hal ini menegaskan bahwa adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal kesesuaian dengan kebutuhan mobilitas lintas daerah. Tanpa peningkatan infrastruktur, mobil listrik kemungkinan besar masih akan bertahan sebagai kendaraan pelengkap, bukan pengganti.

Untuk memperluas penetrasi pasar, diperlukan insentif yang merata, serta peningkatan akses listrik rumah tangga dan ketersediaan stasiun pengisian daya di luar kota besar. Tanpa itu, mobil listrik akan tetap menjadi simbol status di Jakarta, bukan solusi nasional.

Harapan Masa Depan: Perluasan Insentif dan Edukasi Publik

Meski penjualannya meningkat, mobil listrik masih harus menghadapi stigma mahal dan eksklusif. Karena itu, pemerintah dan pelaku industri harus bekerja sama memperluas edukasi publik mengenai manfaat kendaraan listrik, serta mempercepat pembangunan infrastruktur seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

Jika ke depan harga mobil listrik semakin terjangkau, daya listrik rumah diperbesar, dan jarak tempuh baterai semakin baik, bukan tidak mungkin kendaraan listrik bisa menjadi primadona baru di seluruh Indonesia. Namun saat ini, Jakarta masih menjadi “pasar utama” dengan ciri khas konsumen berduit yang ingin mobilitas lebih fleksibel di tengah pembatasan ganjil genap.

Dengan strategi yang tepat, mobil listrik tak hanya menjadi gaya hidup, tetapi benar-benar menjadi solusi mobilitas masa depan yang berkelanjutan dan inklusif.

otomotif

Fenomena Terkini






Trending