Nissan Alami Krisis Finansial, Siap Lakukan PHK Massal terhadap 20.000 Karyawan

Kuatbaca.com - Produsen otomotif ternama asal Jepang, Nissan, kini tengah menghadapi masa-masa kelam dalam sejarah perusahaannya. Krisis keuangan yang terus memburuk membuat Nissan terpaksa mengambil langkah drastis untuk bertahan di tengah tekanan industri global. Salah satu langkah yang akan diambil adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 20.000 karyawan di berbagai belahan dunia. Jumlah ini merepresentasikan sekitar 15% dari total tenaga kerja Nissan secara global. Keputusan ini menunjukkan betapa seriusnya kondisi keuangan perusahaan yang sudah terpuruk selama beberapa tahun terakhir.
1. Penurunan Penjualan di Pasar Kunci Jadi Pemicu Utama
Salah satu penyebab utama yang mendorong Nissan mengambil kebijakan PHK massal adalah penurunan penjualan yang sangat tajam, khususnya di dua pasar utama mereka: Amerika Serikat dan China. Kedua pasar ini selama bertahun-tahun menjadi tulang punggung pendapatan Nissan. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, performa penjualan di sana mengalami penurunan drastis hingga 94%. Situasi ini semakin diperburuk dengan meningkatnya persaingan dari produsen otomotif lokal di kedua negara tersebut, khususnya dari China yang kini semakin agresif mengekspansi produk-produk mereka ke pasar global.
2. Rencana Restrukturisasi Besar-Besaran dan Kerugian Triliunan
Sebagai bagian dari strategi restrukturisasi, Nissan sebelumnya telah mengumumkan pemangkasan kapasitas produksi sebesar 20%. Selain itu, perusahaan juga memangkas proyeksi pendapatan dan memperkirakan kerugian restrukturisasi mencapai US$ 5 miliar atau sekitar Rp 82,6 triliun untuk tahun fiskal yang berakhir pada Maret 2025. Kerugian ini menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi bukan sekadar penurunan penjualan, tetapi juga manajemen keuangan yang tidak mampu menyeimbangkan pengeluaran dan pendapatan dalam jangka panjang.
3. Harapan Merger Gagal, Nissan Semakin Terpuruk
Menjelang akhir 2024, sempat beredar kabar bahwa Nissan tengah menjajaki kemungkinan merger dengan dua raksasa otomotif Jepang lainnya, yaitu Honda dan Mitsubishi. Merger ini sempat memberikan angin segar bagi banyak pihak, karena diyakini bisa memperkuat daya saing perusahaan menghadapi tekanan global. Namun, rencana itu akhirnya gagal direalisasikan. Pada Februari 2025, merger tersebut resmi dibatalkan, dan sejak saat itu kondisi Nissan justru semakin memburuk. Situasi ini mencatatkan Nissan berada dalam kondisi terburuk selama 26 tahun terakhir.
4. Beban Utang Membayangi Masa Depan Nissan
Selain menghadapi tekanan pasar, Nissan juga dibebani dengan kewajiban pembayaran utang dalam jumlah besar. Tahun ini saja, perusahaan harus melunasi utang sebesar US$ 1,6 miliar atau sekitar Rp 26,4 triliun. Jumlah ini akan melonjak hingga US$ 5,6 miliar atau sekitar Rp 92,5 triliun pada tahun 2026. Tekanan utang yang begitu besar menjadi tantangan serius bagi Nissan untuk tetap bertahan di industri otomotif yang semakin kompetitif. Jika tidak segera melakukan pembenahan, masa depan Nissan sebagai salah satu pemain utama otomotif dunia bisa berada di ujung tanduk.
5. Pengaruh Kebijakan Global dan Persaingan Ketat
Faktor eksternal seperti kebijakan tarif tinggi dari pemerintah Amerika Serikat juga turut memperparah kondisi Nissan. Kenaikan tarif impor yang diberlakukan selama masa pemerintahan Presiden Donald Trump memberikan pukulan telak, terutama bagi produsen Jepang yang memiliki fasilitas produksi besar di luar negeri. Sementara itu, di sisi lain, produsen mobil dari China mulai menunjukkan dominasinya dengan produk-produk ramah lingkungan dan harga yang lebih kompetitif, membuat Nissan semakin kesulitan menembus pasar internasional.