Mobil di Bawah Rp 400 Juta Masih Kena PPnBM, Padahal Dipakai untuk Cari Nafkah

24 May 2025 08:12 WIB
73db0450-c9b9-4890-92cd-619d299d8178_169.jpg

Kuatbaca.com - Kebijakan perpajakan atas kendaraan roda empat di Indonesia kembali menjadi sorotan. Salah satu isu yang ramai diperbincangkan adalah penerapan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap mobil-mobil dengan harga di bawah Rp 400 juta. Padahal, di tengah kebutuhan masyarakat akan kendaraan sebagai sarana penunjang pekerjaan, mobil di kelas harga tersebut seharusnya tidak lagi dikategorikan sebagai barang mewah.

Kendaraan seperti Low MPV dan Low SUV yang banyak digunakan oleh keluarga muda maupun pelaku usaha kecil justru tetap dikenai PPnBM hingga 15 persen. Artinya, walau harga mobil tersebut masih dalam kisaran yang dianggap “terjangkau”, namun beban pajak tetap tinggi. Ini tentu berpengaruh langsung pada daya beli masyarakat.

1. Beda Perlakuan dengan Barang Mewah Lain: Pajak Tahunan Memberatkan

Yang menjadi perhatian adalah perbedaan perlakuan antara mobil dengan barang mewah lain seperti tas bermerek atau sepatu premium. Meskipun sama-sama terkena pajak barang mewah, hanya mobil yang dikenakan biaya tambahan setiap tahun dalam bentuk pajak kendaraan bermotor dan pajak progresif.

Jadi, meskipun konsumen sudah membayar PPnBM saat membeli mobil, mereka masih harus menanggung biaya lain setiap tahun. Di sisi lain, barang-barang mewah non-kendaraan tidak lagi dikenai biaya tahunan, bahkan tidak memiliki kewajiban administratif seperti perpanjangan STNK. Hal ini menimbulkan kesan bahwa kendaraan—yang dalam banyak kasus dipakai untuk bekerja atau kebutuhan keluarga—justru dikenai beban yang berlebihan.

2. Sejarah PPnBM dan Dampaknya pada Harga Mobil Konsumen

PPnBM dikenakan berdasarkan aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.010/2021, yang mengatur tentang klasifikasi kendaraan bermotor yang dikenai pajak barang mewah. Tarifnya bervariasi tergantung kapasitas mesin dan tingkat emisi gas buang. Kendaraan hemat energi seperti LCGC (Low Cost Green Car) dikenai tarif sebesar 3 persen, sementara mobil biasa bisa mencapai 15 persen atau lebih.

Dampak dari penerapan pajak ini tentu langsung terasa pada harga jual kendaraan di pasar. Mobil yang keluar dari pabrik seharga Rp 100 juta, bisa sampai di tangan konsumen dengan harga Rp 150 juta karena tambahan berbagai jenis pajak. Kenaikan tersebut otomatis memengaruhi daya beli masyarakat dan menurunkan potensi pertumbuhan sektor otomotif.

3. Contoh Nyata: Saat Diskon PPnBM Bantu Dongkrak Penjualan

Saat pandemi COVID-19 melanda dan perekonomian nasional melemah, pemerintah sempat memberikan relaksasi PPnBM sebagai bentuk stimulus. Kebijakan ini berlaku pada 2021 hingga 2022 dan terbukti mampu menghidupkan kembali sektor otomotif yang sempat terpuruk.

Penjualan mobil yang semula hanya mencapai 532.000 unit pada 2020 melonjak menjadi 887.000 unit di tahun 2021. Bahkan, pada 2022, jumlah tersebut meningkat lagi hingga menembus angka 1,04 juta unit. Ini menunjukkan bahwa relaksasi pajak dapat mendorong daya beli masyarakat serta menggairahkan industri otomotif dalam waktu singkat.

4. Harapan Masyarakat: Evaluasi Kebijakan PPnBM untuk Kendaraan Rakyat

Melihat berbagai fakta tersebut, banyak pihak berharap pemerintah melakukan evaluasi terhadap pengenaan PPnBM, khususnya untuk mobil dengan harga di bawah Rp 400 juta. Mobil jenis ini tidak bisa lagi dianggap barang mewah karena sebagian besar digunakan sebagai sarana mobilitas utama, baik untuk keluarga, kerja, hingga usaha kecil menengah.

Selain itu, menurunkan atau bahkan menghapus PPnBM untuk kategori kendaraan tertentu juga dapat menjadi stimulus tambahan bagi sektor otomotif nasional. Apalagi jika ditambah dengan insentif lain seperti keringanan pajak tahunan atau subsidi untuk kendaraan dengan komponen lokal tinggi. Langkah ini bisa meningkatkan produksi dalam negeri sekaligus mengurangi ketergantungan pada produk impor.

otomotif

Fenomena Terkini






Trending