Kekalahan yang Menyakitkan di Panggung Dunia

Kuatbaca - Inter Milan harus mengakhiri kiprahnya di Piala Dunia Antarklub 2025 dengan kepala tertunduk. Harapan besar yang dibawa Cristian Chivu sebagai pelatih anyar tidak berbuah manis setelah timnya takluk di babak 16 besar dari Fluminense, klub asal Brasil, dengan skor 0-2. Kekalahan ini bukan hanya mengecewakan karena menyudahi perjuangan Nerazzurri di turnamen internasional, tapi juga menggenapi musim yang benar-benar tanpa trofi.
Tersingkirnya Inter di berbagai ajang—mulai dari Serie A, Coppa Italia, Supercoppa, hingga Liga Champions—menyisakan catatan pahit dalam sejarah klub. Apalagi, Chivu baru saja dipercaya menggantikan Simone Inzaghi di akhir musim 2024/2025. Tentu ekspektasi tinggi mengiringi langkah awalnya, tapi debutnya justru berakhir dengan serangkaian hasil minor.
Momentum untuk Belajar, Bukan Menyesal
Meski hasilnya jauh dari harapan, Chivu memilih untuk memandang ke depan ketimbang terus larut dalam kekecewaan. Bagi mantan bek tangguh asal Rumania itu, turnamen ini bukan hanya sekadar hasil, tetapi juga menjadi kesempatan untuk mempelajari dinamika tim yang kini berada di bawah kendalinya.
Dalam tiga pekan penuh pertandingan intens, Chivu mengamati dengan seksama bagaimana para pemainnya beradaptasi, berjuang, dan merespons tekanan. Ia menjadikan periode itu sebagai "pra-pramusim" untuk mengenal karakter dan potensi skuad yang diwarisinya.
Menurutnya, di tengah bayang-bayang kegagalan musim lalu, sangat penting untuk memahami kondisi psikologis dan mental pemain, agar bisa menyusun strategi dan pendekatan yang tepat ketika memasuki musim kompetisi baru. Ia tidak ingin sekadar mengeluh, melainkan menjadikan pengalaman ini sebagai bahan bakar untuk membangun tim yang lebih kuat.
Suara-suara Kritis Mulai Terdengar
Tak bisa dimungkiri, kegagalan demi kegagalan telah membuat sebagian pendukung dan pengamat mulai mempertanyakan kapabilitas Chivu. Pengalaman kepelatihannya memang belum banyak di level senior, dan Inter jelas bukan klub kecil yang bisa dijadikan ajang coba-coba.
Namun, manajemen klub tampaknya masih memberi kepercayaan penuh pada proyek jangka panjang bersama Chivu. Mereka melihatnya bukan hanya sebagai pelatih, tetapi sebagai bagian dari keluarga besar Inter, yang memahami budaya klub sejak menjadi pemain.
Dalam konteks itu, evaluasi tentu akan terus dilakukan. Tapi menilai seorang pelatih dari tiga pekan kerja dan satu turnamen memang belum adil. Saat ini, yang paling penting adalah bagaimana Chivu mampu memanfaatkan waktu jelang musim baru untuk membentuk tim dengan identitas yang jelas.
Fokus ke Pramusim: Bangun Ulang Semangat
Kini, seluruh perhatian Inter beralih ke persiapan pramusim. Tantangan terbesar Chivu adalah membangun ulang semangat bertanding para pemain yang sempat goyah akibat rentetan kegagalan. Ia harus menyuntikkan kepercayaan diri, menyegarkan taktik, dan—yang tak kalah penting—menciptakan atmosfer kompetitif yang sehat di ruang ganti.
Pramusim akan menjadi ajang pembuktian bahwa Inter era Chivu memiliki arah yang jelas. Beberapa rotasi mungkin terjadi, baik dari sisi pemain maupun pendekatan permainan. Yang pasti, Chivu membutuhkan waktu dan ruang untuk membentuk tim sesuai dengan visinya.
Meski perjalanan di Piala Dunia Antarklub 2025 telah usai lebih cepat dari harapan, Chivu tak ingin Inter tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Ia mengajak seluruh elemen tim untuk menatap ke depan dan menjadikan kekalahan ini sebagai cambuk, bukan luka permanen.
Musim 2025/2026 akan jadi penentu apakah Chivu bisa membawa Inter kembali ke jalur juara, atau justru menjadi pelatih berikutnya yang gagal bertahan lama di San Siro. Namun satu hal yang pasti, ia tidak akan menyerah begitu saja. Bagi Chivu, ini baru permulaan dari perjalanan panjang bersama Nerazzurri.