Tiga Langkah Hasto yang Diduga Halangi Penangkapan Harun Masiku

3 July 2025 13:20 WIB
potret-eks-kader-pdip-saiful-bahri-jadi-saksi-dalam-sidang-hasto-kristiyanto-1747909209448_169.jpeg

Kuatbaca - Kasus Harun Masiku, politisi yang kini menjadi buron paling misterius dalam sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kembali menyeret nama besar di panggung politik nasional. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, kini resmi menghadapi sidang tuntutan terkait dugaan perintangan penyidikan. Dalam dokumen yang disampaikan ke majelis hakim, jaksa KPK menguraikan tiga tindakan spesifik Hasto yang diyakini menghambat jalannya penyelidikan terhadap Harun.

Tiga tindakan tersebut dinilai cukup kuat untuk menjerat Hasto dengan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur tentang perbuatan menghalang-halangi atau merintangi proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk intervensi aktif yang mempersulit upaya aparat hukum mengungkap kebenaran.

Menyembunyikan Harun di Markas Partai

Peristiwa pertama yang menjadi sorotan terjadi pada 8 Januari 2020. Hari itu, ketika operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK hampir menjaring Harun Masiku, Hasto diduga memberikan perintah strategis untuk menyelamatkan koleganya itu. Lewat seorang petugas keamanan di kantor pusat DPP PDIP, Hasto disebut menyampaikan instruksi kepada Harun untuk merendam telepon selulernya ke dalam air.

Tindakan itu tak hanya bermakna simbolis. Dengan menghilangkan alat komunikasi, jejak digital Harun ikut lenyap, membuat penyidik kehilangan akses terhadap bukti-bukti penting yang mungkin ada di dalam perangkat tersebut. Tak hanya itu, Harun juga diminta tetap berada di dalam gedung DPP PDIP, yang saat itu menjadi tempat strategis untuk menghindari pantauan KPK. Tempat yang seharusnya menjadi pusat koordinasi politik, diduga berubah menjadi lokasi perlindungan terselubung bagi seorang buron.

Instruksi “Tenggelamkan” untuk Staf Sekretariat

Langkah kedua yang diuraikan jaksa menunjukkan skenario penghilangan bukti yang lebih terstruktur. Kali ini, sasarannya adalah staf kesekretariatan partai, Kusnadi. Hasto disebut memerintahkan Kusnadi untuk melakukan tindakan serupa: menenggelamkan ponsel miliknya. Tujuannya sama—menghapus jejak komunikasi yang dapat membuka simpul hubungan antara Harun Masiku, partai, dan jaringan pendukungnya.

Jaksa menilai tindakan ini sebagai upaya sadar untuk menghapus bukti yang bisa mengaitkan Hasto langsung dengan keberadaan Harun. Apalagi, posisi Kusnadi dalam struktur internal membuatnya dianggap sebagai orang kepercayaan yang cukup strategis untuk menjalankan instruksi semacam ini.

Telepon Kosong di Meja KPK

Aksi ketiga yang dianggap jaksa sebagai bentuk perintangan penyidikan terjadi saat Hasto memenuhi panggilan pemeriksaan di KPK, tepatnya pada 10 Juni 2024. Dalam sesi pemeriksaan itu, Hasto datang membawa sebuah ponsel—namun isinya kosong. Sementara itu, ponsel utama miliknya, yang kemungkinan menyimpan data penting, justru ia titipkan kepada Kusnadi.

Jaksa menilai hal ini sebagai upaya sengaja untuk mengelabui penyidik. Dengan menyuguhkan perangkat yang tidak memuat informasi apapun, penyidik kehilangan kesempatan untuk menelusuri data yang bisa menjadi bukti. Ini dianggap bukan sebagai kebetulan, melainkan strategi hukum untuk menghindari penyitaan secara paksa oleh tim KPK.

Dari ketiga tindakan yang dipaparkan tersebut, jaksa menyimpulkan bahwa Hasto berperan aktif dalam upaya sistematis untuk menyulitkan penyidikan terhadap Harun Masiku. Dampaknya cukup signifikan: hingga hari ini, Harun masih belum tertangkap, sementara kasusnya terus menjadi sorotan publik dan simbol lemahnya pelacakan terhadap koruptor buron.

KPK menegaskan bahwa penghilangan bukti digital, pengamanan saksi kunci, hingga upaya mengelabui petugas merupakan bentuk nyata dari obstruction of justice, dan tidak boleh dianggap enteng. Perkara ini tidak hanya menyangkut satu nama, tapi juga menyentuh integritas institusi politik dan supremasi hukum di negeri ini.

Kini semua mata tertuju pada vonis yang akan dijatuhkan pengadilan. Jika terbukti bersalah, kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia—bahwa tak ada jabatan politik yang kebal terhadap hukum. Sebaliknya, jika tidak terbukti, akan banyak pertanyaan yang mengemuka tentang independensi dan efektivitas aparat penegak hukum.

Satu hal yang pasti: publik menanti transparansi dan keadilan, bukan drama penghilangan jejak yang terus berulang.

kriminal

Fenomena Terkini






Trending