KDRT 20 Tahun di Surabaya: Luka Lama yang Tak Pernah Sembuh

Kuatbaca - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali mencuat di Surabaya, memunculkan keprihatinan publik yang mendalam. Seorang pria berinisial NH, berusia 49 tahun, diduga kembali melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya, IN, yang juga berusia 49 tahun. Ironisnya, peristiwa memilukan itu terjadi di hadapan anak mereka sendiri dan bahkan sempat direkam oleh sang anak hingga kemudian viral di media sosial.
Dalam video yang tersebar luas, NH tampak menyeret dan memukul istrinya menggunakan benda keras berupa kayu. Terdengar suara pilu tangis sang anak yang berusaha menghentikan kekerasan itu sambil memanggil ibunya dengan lirih dan penuh ketakutan. "Ibuk... Ibukk..." suara itu menggema, menyayat hati siapa pun yang menontonnya.
Dua Dekade Penuh Kekerasan Tanpa Penyesalan
Pengungkapan terbaru dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya mengungkap fakta lebih mengejutkan: kekerasan ini bukanlah yang pertama. IN, sang istri, telah mengalami kekerasan serupa selama lebih dari 20 tahun. Sepanjang dua dekade itu, ia terus menjadi korban tanpa pernah mendapat satu pun permintaan maaf yang tulus dari pelaku.
Menurut keterangan pihak DP3APPKB, IN mengaku bahwa sang suami tidak pernah menunjukkan penyesalan kecuali saat proses hukum mengancamnya. “Kecuali saat dilaporkan, dia baru bersimpuh-simpuh, memohon ampun. Tapi setelah itu, kembali lagi seperti semula,” ungkap pihak DP3APPKB.
Pernah Dipenjara, Tak Jera
NH sendiri bukan orang baru dalam catatan hukum. Ia pernah dijatuhi hukuman penjara selama 1,5 tahun atas kasus KDRT sebelumnya. Namun karena bujukan dan permohonan maafnya kepada sang istri, serta kebaikan hati IN yang meminta keringanan hukuman, NH hanya menjalani 3 bulan masa kurungan.
Sayangnya, kebebasan itu tidak membuat NH berubah. Begitu kembali ke rumah, pola kekerasan yang sama kembali terulang. Situasi ini menggambarkan siklus kekerasan dalam rumah tangga yang kerap berulang, di mana pelaku merasa bisa lolos dari tanggung jawab karena adanya pengampunan dari korban.
Uang Belanja Jadi Pemicu Kekerasan Terbaru
Insiden terakhir yang terekam kamera disebut berawal dari permintaan uang belanja sebesar Rp100 ribu oleh IN. Permintaan sederhana yang seharusnya menjadi hal lumrah dalam rumah tangga ini justru disambut dengan amarah dan tindakan kasar. Bukannya memberikan uang, NH malah meluapkan kemarahannya dengan cara yang brutal.
Peristiwa ini sekali lagi membuka mata publik tentang bagaimana kekerasan domestik bisa terjadi dalam bentuk yang sangat ekstrem, bahkan dari hal-hal kecil yang seharusnya bisa dibicarakan secara baik-baik.
Salah satu hal yang paling mencolok dalam kasus ini adalah perilaku manipulatif dari pelaku. NH disebut sebagai pribadi yang mampu memainkan emosi korban agar mendapatkan simpati, terutama saat berhadapan dengan hukum. Pola ini sering ditemui dalam kasus KDRT, di mana pelaku menggunakan rasa iba korban untuk menghindari konsekuensi atas perbuatannya.
Manipulasi ini tidak hanya berdampak pada korban, tetapi juga menciptakan ilusi bahwa hubungan tersebut masih bisa diselamatkan, padahal akar masalahnya tak pernah benar-benar diatasi.
Kasus KDRT yang viral ini seharusnya menjadi pengingat keras bagi aparat penegak hukum, lembaga sosial, dan masyarakat luas bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa lagi dianggap sebagai urusan privat semata. Butuh keberanian dari korban untuk melaporkan, tetapi lebih dari itu, dibutuhkan keberpihakan sistem hukum dan sosial untuk benar-benar melindungi korban dari ancaman berulang.
Tak jarang korban yang akhirnya memaafkan dan mencabut laporan justru kembali menjadi sasaran kekerasan yang lebih brutal. Oleh karena itu, sistem perlindungan dan penegakan hukum harus mampu mencegah terulangnya siklus ini dengan mekanisme yang lebih tegas dan berpihak pada keselamatan korban, bukan semata pada rekonsiliasi.
Apa yang dialami IN bukan hanya cerita tentang seorang istri yang dianiaya, tapi juga tentang sistem sosial yang sering kali belum cukup kuat untuk mencegah dan melindungi. Video viral yang menggambarkan penderitaan IN seharusnya menjadi momentum untuk mendorong perubahan nyata: baik dalam kesadaran masyarakat, perlindungan hukum, maupun empati terhadap korban KDRT.
Kasus NH dan IN hanyalah satu dari sekian banyak kisah pilu yang mungkin tidak semua sempat terekam kamera. Tapi setiap tangis, luka, dan trauma korban KDRT adalah alarm yang seharusnya membuat kita semua tidak lagi diam.