Kasus Korupsi SPK Fiktif: PNS BBWSC Bandung Didakwa Kerugian Negara Rp 1,5 Miliar

Kuatbaca - Pengusutan kasus korupsi terus berlanjut, dan kali ini melibatkan pegawai negeri sipil (PNS) di Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC) Bandung. Iyan Kartifa Susanto, salah satu PNS di institusi tersebut, didakwa melakukan korupsi dengan mengeluarkan surat perintah kerja (SPK) fiktif yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,5 miliar. Kasus ini menjadi sorotan publik dan menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan proyek pemerintah.
Dugaan Pembuatan SPK Fiktif
Iyan Kartifa Susanto didakwa bersama H. Tafsirudin Nugraha, yang penuntutannya dilakukan terpisah. Keduanya dituduh memperkaya diri sendiri dan orang lain melalui praktik korupsi yang terstruktur. Iyan diduga mengeluarkan SPK fiktif untuk mencairkan dana di bank milik daerah Jawa Barat dan Banten, yang digunakan sebagai modal dalam proyek pemeliharaan situ dan sungai.
Penyidik mengungkapkan bahwa Iyan berkenalan dengan Tafsirudin melalui saksi bernama Subhan Hujaemi. Dalam komunikasi mereka, Iyan mengkonfirmasi adanya proyek pemeliharaan berkala situ dan sungai yang dilaksanakan oleh BBWS Citarum. Tafsirudin kemudian meminta agar dibuatkan SPK untuk diajukan sebagai pinjaman ke bank, dengan tujuan memanfaatkan dana tersebut untuk proyek yang tidak pernah ada.
Penyaluran Dana Melalui Bank
Pada bulan April 2028, Tafsirudin melakukan pertemuan dengan kepala cabang bank milik daerah di Pandeglang. Dalam pertemuan tersebut, bank memberikan fasilitas kredit kepada tiga perusahaan, yakni CV Mitra Usaha Abadi sebesar Rp 350 juta, CV Kasep Baraya sebesar Rp 380 juta, dan CV Dua Mustika sebesar Rp 800 juta. Total pinjaman yang dicairkan mencapai lebih dari Rp 1,5 miliar.
Namun, jaksa mengungkapkan bahwa dana yang dicairkan tersebut tidak digunakan untuk proyek pemeliharaan situ dan sungai di BBWS Citarum seperti yang dijanjikan. Sebaliknya, dana tersebut dialokasikan untuk berbagai proyek lain yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang tercantum dalam SPK, termasuk proyek Bocimi, pengerjaan Bandara Soekarno-Hatta, serta proyek tol milik WIKA.
Kerugian Negara yang Signifikan
Pihak jaksa penuntut umum menyatakan bahwa tindakan Iyan dan Tafsirudin merugikan keuangan negara hingga Rp 1,5 miliar. Mereka menjelaskan bahwa kegiatan pemeliharaan sungai yang seharusnya tertera dalam SPK fiktif tersebut tidak sesuai dengan realisasi proyek yang dilakukan. BBWS Citarum bahkan menerbitkan SPK yang asli dengan nilai kontrak dan tanggal yang berbeda dari SPK fiktif yang dikeluarkan oleh Iyan.
Perbedaan ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menipu dan menyalahgunakan wewenang dalam proses pengadaan proyek pemerintah. Kasus ini mencerminkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan anggaran negara serta penerapan sanksi yang lebih tegas bagi mereka yang terlibat dalam praktik korupsi.
Dengan dakwaan yang telah diajukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, proses hukum akan segera dilanjutkan untuk menentukan nasib Iyan dan Tafsirudin. Jika terbukti bersalah, mereka dapat dikenakan hukuman penjara dan denda yang berat sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindak pidana korupsi yang telah dilakukan.
Kasus ini juga mengingatkan semua pihak akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek pemerintah. Masyarakat berharap agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan, dan pihak berwenang dapat mengimplementasikan sistem yang lebih baik untuk meminimalkan risiko korupsi.
Kasus korupsi yang melibatkan PNS di BBWS Citarum ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh lapisan masyarakat dan instansi pemerintah. Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk menindaklanjuti setiap bentuk penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang merugikan keuangan negara. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan integritas sistem pemerintahan dapat terjaga, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga publik dapat pulih.