Kuatbaca.com - Dalam industri musik, nama band memainkan peran krusial dalam identitas dan penanda suatu kelompok musik. Baru-baru ini, masyarakat pencinta musik indie dikejutkan dengan perubahan nama band Amigdala yang kini berganti menjadi Pendarra. Namun, kontroversi terkait penggantian nama ini menimbulkan perdebatan, terutama di antara para mantan personel band tersebut.
Ketika para pecinta musik mencoba mencari Amigdala di platform musik digital Spotify, mereka disambut dengan nama Pendarra. Meski demikian, lagu-lagu populer Amigdala seperti "Ku Kira Kau Rumah", "Di Ambang Karam", "Belenggu", "Balada Puan", dan beberapa lainnya, masih bisa ditemukan di bawah nama Pendarra.
Kontroversi ini terjadi karena diduga perubahan nama dilakukan tanpa persetujuan dari mantan personel, khususnya Aya Canina, yang sebelumnya menjabat sebagai vokalis dan salah satu pendiri band ini. Tak hanya berhenti di sana, Aya Canina mengklaim bahwa nama Amigdala adalah ciptaannya, dan dia memiliki hak atasnya.
Aya Canina bukanlah pendatang baru dalam industri musik. Pada tahun 2016, bersama dengan gitarisnya, Isa, mereka mendirikan Amigdala dan menciptakan enam lagu hit yang mendefinisikan identitas band tersebut. Walaupun kini Aya dan Isa telah memutuskan untuk meninggalkan Amigdala, namun menurut mereka, nama tersebut masih sering digunakan oleh personel lain tanpa sepengetahuan ataupun persetujuan dari mereka.
Dalam sebuah wawancara, Aya Canina mengungkapkan rasa frustrasinya.
"Kami telah meminta mereka untuk tidak lagi menggunakan nama Amigdala, tapi sepertinya permintaan kami tidak dihiraukan," ungkap Aya. Dia menambahkan, "Ketika saya memutuskan untuk keluar, saya memberi mereka kebebasan untuk menggunakan lagu-lagu yang saya ciptakan, namun dengan satu syarat, yaitu memenuhi hak ekonomi saya. Namun, tampaknya mereka mengabaikan hak saya."
Kontroversi ini menyoroti pentingnya pemahaman dan penghormatan terhadap hak kekayaan intelektual dalam industri musik. Sebuah band bukan hanya sekedar nama atau serangkaian lagu, melainkan representasi dari kerja keras, kreativitas, dan dedikasi para anggotanya. Ketika hak tersebut dilanggar, tentunya akan menimbulkan keretakan dan perdebatan.
Ke depannya, diharapkan kasus seperti ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk selalu menjunjung tinggi etika dan profesionalisme dalam berkolaborasi, terutama dalam industri kreatif seperti musik. Sebuah kesepakatan yang jelas, adil, dan transparan antar anggota band adalah kunci untuk menghindari konflik di masa depan.
(*)