Uang Tunai Mulai ‘Tak Laku’ di Jakarta? Ini Sebab Utamanya

Kuatbaca.com - Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan signifikan dalam cara masyarakat bertransaksi. Salah satu tren yang kini semakin terlihat jelas di Jakarta adalah penurunan penggunaan uang tunai. Fenomena ini membuat banyak toko dan gerai mulai menolak pembayaran dengan uang fisik, meski rupiah masih menjadi alat pembayaran yang sah di Indonesia.
1. Kebiasaan Konsumen Berubah ke Arah Digital
Konsumen di kawasan perkotaan seperti Jakarta kini cenderung lebih memilih metode pembayaran non-tunai, terutama melalui QRIS, kartu debit, atau e-wallet. Di kawasan strategis seperti JPM Dukuh Atas, misalnya, mayoritas pengunjung yang berasal dari kalangan pekerja dan komuter sudah terbiasa menggunakan pembayaran digital dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut seorang penjaga kedai es krim di lokasi tersebut, awalnya mereka menerima semua metode pembayaran, namun lambat laun konsumen lebih memilih QRIS dan kartu debit, sehingga mereka akhirnya beralih sepenuhnya ke sistem cashless. Hal ini menunjukkan perubahan preferensi belanja masyarakat yang semakin digital-minded.
2. Efisiensi Operasional Toko
Gerai dan pelaku usaha juga melihat keuntungan dalam menghilangkan transaksi tunai. Dengan hanya melayani pembayaran digital, mereka bisa:
- Mengurangi risiko pencurian atau kehilangan uang fisik
- Meminimalisir human error dalam menghitung uang kembalian
- Menghemat waktu transaksi di kasir
- Mempermudah pencatatan keuangan
Seperti diungkap oleh pegawai gerai roti di Stasiun Sudirman, keputusan untuk hanya menerima pembayaran non-tunai merupakan kebijakan resmi toko, meskipun tidak dijelaskan secara rinci alasan di baliknya.
3. Uang Kembalian Jadi Masalah
Salah satu keluhan klasik dari transaksi tunai adalah soal uang kembalian recehan, terutama koin pecahan Rp 100–200 yang dinilai sudah kurang berguna dalam praktik. Hanachi (35), salah satu konsumen yang diwawancara, mengatakan ia lebih memilih QRIS untuk menghindari kerepotan ini, apalagi jika bertransaksi berkali-kali dalam sehari.
Ia bahkan menyebut bahwa sekarang justru merasa terganggu jika sebuah warung atau penjual tidak menyediakan opsi QRIS, menandakan bahwa standar masyarakat kini mulai bergeser: tanpa digital payment, bisnis dianggap ketinggalan zaman.
4. QRIS dan Dompet Digital Jadi Semakin Universal
Kini, bahkan pedagang kaki lima hingga penjual kopi keliling pun sudah menggunakan QRIS. Hal ini menunjukkan pemerataan akses terhadap teknologi pembayaran digital, menjadikan dompet digital tidak hanya praktis tetapi juga relevan untuk semua lapisan masyarakat.
Dengan makin luasnya penggunaan QRIS dan pembayaran digital lainnya, masyarakat merasa tidak perlu lagi membawa uang tunai, apalagi jika semua kebutuhan bisa dipenuhi dengan satu kali scan kode QR di ponsel.
Masa Depan Transaksi di Jakarta
Meski rupiah fisik masih sah menurut undang-undang, kenyamanan, efisiensi, dan kebiasaan baru masyarakat mendorong pergeseran besar ke arah cashless society. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin uang tunai akan semakin jarang digunakan dalam transaksi sehari-hari, terutama di kota besar seperti Jakarta.
Namun, untuk menuju transisi penuh, perlu ada regulasi jelas dari pemerintah dan edukasi kepada pelaku usaha agar tetap menyediakan opsi bagi semua kalangan, termasuk yang belum sepenuhnya terakses digital.
"Uang memang masih sah, tapi kalau toko-toko sudah tidak menerimanya, ya seperti ‘tak laku’ juga," kata Hanachi dengan nada heran. Realita ini menunjukkan bahwa kekuatan hukum kadang bisa dikalahkan oleh kebiasaan masyarakat.