Tantangan Investasi di Indonesia: Ini Deretan Penghalang yang Harus Segera Dibenahi

Kuatbaca.com - Pemerintah Indonesia menargetkan capaian investasi sebesar Rp 1.905 triliun pada tahun 2025. Angka yang ambisius ini menjadi cerminan dari optimisme pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, di balik target tersebut, tersimpan berbagai tantangan besar yang masih harus dihadapi, mulai dari persoalan teknis hingga sistemik yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Dalam sebuah forum diskusi investasi, Kementerian Investasi dan Hilirisasi membeberkan sederet persoalan utama yang menjadi penghalang masuknya investasi ke Tanah Air.
1. Masalah Lahan Masih Jadi Tantangan Klasik
Salah satu hambatan utama yang masih membayangi dunia investasi di Indonesia adalah persoalan lahan. Harga tanah yang tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya membuat investor asing berpikir dua kali sebelum menanamkan modalnya. Tidak hanya mahal, proses pembebasan lahan juga sering kali berjalan lambat dan rumit, sehingga mempersulit eksekusi proyek investasi.
Kondisi ini membuat Indonesia kalah bersaing dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia yang menawarkan harga lahan lebih kompetitif dan proses pengadaan lahan yang lebih efisien. Tantangan ini memerlukan penanganan serius dari pemerintah, termasuk reformasi regulasi dan transparansi dalam pengadaan lahan bagi investor.
2. Perizinan Berbelit Jadi Penghambat Pertumbuhan
Birokrasi yang panjang dan tidak efisien masih menjadi momok menakutkan bagi investor. Proses perizinan yang semestinya bisa diselesaikan dalam waktu singkat sering kali memakan waktu hingga berbulan-bulan. Untuk mengatasi ini, Kementerian Investasi dan Hilirisasi mengusulkan penerapan sistem “fiktif positif”, yakni sistem di mana izin usaha dianggap otomatis disetujui jika tidak ada tanggapan dari kementerian teknis dalam jangka waktu tertentu.
Langkah ini diharapkan mampu memangkas prosedur administratif yang berbelit dan meningkatkan kepastian hukum dalam berusaha. Selain itu, sistem Online Single Submission (OSS) juga tengah disempurnakan agar dapat memberikan kemudahan perizinan secara digital dan terintegrasi antar lembaga.
3. Premanisme dan Gangguan Ormas Menjadi Ancaman Serius
Gangguan dari oknum organisasi masyarakat (ormas) dan aksi premanisme di sekitar lokasi proyek investasi menjadi masalah yang semakin sering terjadi. Salah satu contohnya adalah insiden yang menimpa pabrik otomotif di Subang, Jawa Barat, yang mendapatkan intimidasi saat proses pembangunan. Tindakan-tindakan seperti ini tidak hanya mengganggu kenyamanan investor, tetapi juga mencoreng citra Indonesia di mata dunia.
Masalah keamanan dan ketertiban yang tidak tertangani dengan baik menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif. Pemerintah pusat dan daerah diharapkan bisa memperkuat kolaborasi dengan aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan terhadap pelaku usaha dan memastikan investasi dapat berjalan tanpa intervensi yang merugikan.
4. Ketidakpastian Hukum Jadi Sumber Kekhawatiran Investor
Masalah hukum yang tidak ditegakkan secara konsisten menjadi indikator buruk dalam penilaian investor. Ketidakpastian ini menciptakan rasa tidak aman bagi pelaku usaha, baik lokal maupun asing. Dalam berbagai kasus, investor merasa bahwa aturan bisa berubah sewaktu-waktu tanpa kejelasan prosedur atau kepastian pelaksanaannya.
Penegakan hukum yang lemah juga menjadi pemicu maraknya premanisme dan konflik horizontal di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan komitmen nyata dari semua pemangku kepentingan untuk menjalankan hukum secara adil, transparan, dan konsisten sebagai fondasi utama dari iklim investasi yang sehat.
5. Komitmen Pemerintah dan Peran Swasta dalam Mengatasi Hambatan
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Investasi dan Hilirisasi, berupaya melakukan transformasi dalam ekosistem investasi nasional. Berbagai kebijakan pro-investasi terus digulirkan, mulai dari reformasi perizinan, perbaikan tata kelola lahan, hingga penindakan terhadap aksi-aksi yang mengganggu stabilitas investasi. Di sisi lain, sektor swasta juga diharapkan proaktif dalam memberikan masukan dan membangun kolaborasi strategis dengan pemerintah untuk menciptakan solusi jangka panjang.
Selain perbaikan sistemik, diperlukan juga perubahan budaya birokrasi agar lebih responsif terhadap kebutuhan dunia usaha. Pendekatan pelayanan yang cepat, akurat, dan efisien harus menjadi standar baru dalam menghadapi tantangan global dan menarik minat investor.