1. Batas Waktu Negosiasi RI-AS Semakin Dekat, Ekspor Terancam
Kuatbaca.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi dampak negatif pada ekspor Indonesia jika negosiasi tarif dagang dengan Amerika Serikat (AS) tidak membuahkan hasil sebelum tenggat waktu 9 Juli 2025. Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, ia menekankan pentingnya menjaga performa ekspor agar tetap menjadi motor penggerak ekonomi nasional.
Sri Mulyani menyebut, ekspor Indonesia saat ini masih dalam tren positif, dengan pertumbuhan berkisar antara 6% hingga 6,5%. Namun, tanpa adanya kesepakatan dengan AS, potensi pemberlakuan tarif resiprokal sebesar 32% dapat mengganggu kestabilan tersebut. Situasi ini disebut masih sangat tidak pasti, mengingat negara-negara lain seperti Vietnam telah mencapai kesepakatan, sementara Indonesia belum diumumkan secara resmi.
2. Dampak Tarif Dagang AS Bisa Ganggu Target Pertumbuhan Ekonomi RI
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa ekspor memiliki peran vital dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nasional di level 4,7% hingga 5% pada 2025, ekspor harus tumbuh di kisaran 5,4% sampai 6,4%. Bahkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di 2026, yakni 5,2% hingga 5,8%, pertumbuhan ekspor harus meningkat ke level 6,5%-6,8%.
Dengan ancaman tarif tinggi dari AS, kontribusi sektor ekspor terhadap PDB bisa melemah. Ini akan menjadi beban tambahan dalam upaya pemerintah menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional, terutama di tengah ketidakpastian global dan ancaman perlambatan perdagangan internasional.
3. Pemerintah Indonesia Ajukan Penawaran Kedua ke AS
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya telah menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Ia menyebutkan bahwa pihaknya telah mengajukan penawaran kedua (second offer) kepada pemerintah AS sebagai bagian dari proses negosiasi lanjutan. Tujuannya jelas: mencegah pemberlakuan tarif tinggi terhadap produk ekspor Indonesia, bahkan mengupayakan tarif serendah mungkin, hingga ke level nol persen.
Namun demikian, Airlangga mengakui bahwa keputusan akhir berada di tangan otoritas dagang AS yang memiliki kebijakan internal tersendiri. Karena itu, pemerintah Indonesia berusaha keras menunjukkan komitmen dalam kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan.
4. Ketidakpastian Global dan Ancaman Tarif Jadi Tantangan Baru
Negosiasi dagang antara Indonesia dan AS mencerminkan tantangan geopolitik dan ekonomi global yang terus berkembang. Dalam konteks ini, potensi diberlakukannya tarif 32% terhadap ekspor Indonesia oleh AS merupakan bentuk tekanan dagang yang harus segera direspons dengan langkah diplomasi yang kuat.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah harus tetap menjaga kondisi ekspor dalam tekanan global ini. Upaya memperluas pasar alternatif, memperkuat daya saing produk, serta mempercepat perjanjian dagang bilateral dan multilateral dengan negara lain juga harus menjadi strategi jangka menengah.
Ekspor Harus Dijaga, Diplomasi Dagang Jadi Kunci
Peringatan dari Sri Mulyani menjadi alarm penting bagi seluruh elemen pemerintah untuk mendorong percepatan diplomasi dagang dan menjaga posisi tawar Indonesia di mata mitra global seperti Amerika Serikat. Gagalnya negosiasi dapat berdampak luas, bukan hanya terhadap pelaku ekspor, tetapi juga terhadap stabilitas pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Pemerintah perlu memastikan bahwa ekspor tetap tumbuh dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dengan menjaga hubungan dagang strategis, memperkuat diversifikasi pasar ekspor, serta menyiapkan insentif dan perlindungan bagi sektor-sektor yang berisiko terkena dampak langsung dari kebijakan tarif tinggi.