Saham PGEO Melempem Sejak IPO, Ini 5 Penyebab Utamanya

25 April 2025 09:42 WIB
6457746d-e7b8-4048-9975-f29b32b53d78_169.jpg

Kuatbaca.com -Sejak resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 24 Februari 2023 dengan kode saham PGEO, performa saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk belum menunjukkan penguatan yang signifikan. Saat penawaran umum perdana (IPO), harga saham ditetapkan di level Rp 875 per lembar. Namun hingga April 2025, harga saham PGEO hanya berada di kisaran Rp 900 per saham. Kenaikan tipis ini tentu jauh dari ekspektasi investor yang berharap lonjakan harga seiring optimisme terhadap sektor energi terbarukan di Indonesia.

Meskipun secara harian saham PGEO sempat naik sebesar 4,05%, jika ditilik dalam jangka waktu enam bulan terakhir, justru menunjukkan tren koreksi dengan penurunan sebesar 20,35%. Bahkan, sepanjang tahun 2025, saham ini turun 4,26%. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan investor: mengapa saham dari salah satu pemain utama energi panas bumi Indonesia belum mampu menunjukkan kinerja gemilang?

1. Kinerja Fundamental PGEO Dinilai Stagnan

Lesunya pergerakan harga saham PGEO sejalan dengan kinerja keuangan perusahaan yang belum menunjukkan pertumbuhan signifikan. Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, menyampaikan bahwa fundamental PGEO tergolong stagnan. Setelah IPO, harapan pasar cukup tinggi karena PGEO digadang-gadang sebagai masa depan energi bersih Indonesia. Namun realitanya, pertumbuhan pendapatan dan laba tidak sesuai ekspektasi.

"Dulu waktu IPO itu yang dijual oleh perusahaan untuk orang beli saham bahwa geothermal ini masa depan energi Indonesia karena orang ke depannya nggak akan pakai batu bara lagi. Cuma kinerja Pertamina Geothermal itu turun, alhasil sahamnya turun," ungkap Teguh saat dihubungi, Jumat (25/4/2025).

2. Tingginya Biaya Produksi Energi Geothermal

Salah satu tantangan utama yang dihadapi PGEO adalah biaya produksi energi panas bumi yang relatif tinggi dibandingkan energi fosil seperti batu bara. Hal ini membuat energi geothermal kurang kompetitif di mata pembeli utama seperti PT PLN (Persero). Dalam situasi fiskal yang terbatas, pilihan akan jatuh kepada energi yang lebih murah untuk menjaga efisiensi biaya.

"Dia itu mahal jadi nggak untung. Mahal sekalipun tetap margin untuk Pertamina kecil, jadi perusahaannya hanya akan berkinerja bagus istilahnya kalau negara lagi banyak duit," lanjut Teguh.

Ia menambahkan, "Kalau negara banyak duit, dia akan nyuruh PLN untuk 'nggak apa beli saja dari Pertamina Geothermal', tapi kita tahu sekarang lagi nggak banyak duit dan ada proyek lain yang lebih penting jadi kinerjanya agak turun."

3. Belum Menjadi Fokus Investor di Tengah Pasar Volatil

Selain dari sisi fundamental, saham PGEO juga belum menjadi perhatian utama investor ritel maupun institusi. Analis dan praktisi pasar modal Alfred Nainggolan menyebut bahwa saham-saham energi terbarukan, kecuali BREN, masih belum banyak dilirik di tengah kondisi pasar yang fluktuatif. Saat volatilitas pasar tinggi, investor cenderung bermain aman dengan saham-saham besar yang sudah top of mind.

"Biasanya pada kondisi pasar sedang volatile, saham-saham first liner atau saham-saham top of mind paling responsif mengikuti volatilitas bursa. Jadi menurut saya, saham PGEO belum mendapat sorotan besar dari bursa," jelas Alfred.

Hal ini membuat saham PGEO kurang bergairah meski berada di sektor yang dipandang strategis untuk masa depan energi Indonesia.

4. Prospek Jangka Panjang Masih Cerah, Tapi Butuh Waktu

Walau kinerja jangka pendek kurang memuaskan, potensi jangka panjang PGEO masih menjanjikan. Indonesia sedang menuju transisi energi, dan geothermal diperkirakan akan menjadi andalan dalam pengurangan emisi karbon. Namun, transisi ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Dibutuhkan konsistensi kebijakan, dukungan fiskal, dan kestabilan ekonomi agar energi geothermal benar-benar bisa bersaing.

"Ini kita bicara lama banget bisa sampai 10-30 tahun ke depan, mungkin baru pada saat itu ketika negara kita banyak duitnya, prospek PGEO akan lebih baik. Untuk jangka pendek 1-2 tahun ke depan, selama ekonomi kita masih seperti sekarang, energi murah akan lebih diprioritaskan dalam hal ini batu bara. Jadi prospeknya kurang bagus," ujar Teguh.

Secara finansial, PGEO mencatatkan pendapatan sebesar US$ 407,12 juta pada 2024, hanya naik tipis dari US$ 406,29 juta pada tahun sebelumnya. Namun, laba bersih justru turun dari US$ 163,57 juta menjadi US$ 160,30 juta. Ini memperkuat analisis bahwa kinerja keuangan perusahaan masih belum sejalan dengan potensi sektornya.

Fenomena Terkini






Trending