RI Dihantam Tarif Impor hingga 47% oleh AS: Pemerintah Siap Lobi Balik
Kuatbaca.com - Pemerintah Indonesia kini tengah menghadapi tantangan serius dalam perdagangan internasional, khususnya dengan Amerika Serikat (AS). Pasalnya, produk-produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS dikenakan tarif impor yang mencapai 47%, jauh lebih tinggi dari angka yang selama ini diketahui publik. Fakta ini disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang memimpin upaya negosiasi untuk melindungi kepentingan ekspor nasional.
Tarif tinggi ini tidak hanya menjadi penghalang dagang, tapi juga mengancam daya saing produk Indonesia di pasar global. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara pesaing dari kawasan Asia Tenggara dan Asia lainnya, tarif tersebut tergolong sangat memberatkan.
1. Tarif Bukan Hanya 32%, Tapi Bisa Mencapai 47%
Selama ini banyak pihak mengira bahwa tarif yang dikenakan oleh AS terhadap produk Indonesia "hanya" sebesar 32%, sesuai kebijakan tarif resiprokal yang diperkenalkan oleh pemerintahan Donald Trump. Namun, kenyataannya jauh lebih rumit. Menurut Airlangga, angka 32% hanyalah salah satu bagian dari lapisan tarif yang dikenakan AS.
Beberapa sektor, terutama tekstil dan garmen, terkena tarif dasar antara 10% hingga 37%, dan tambahan 10% yang bersifat sementara menjadikan total tarif bisa mencapai 47%. “Meski saat ini tarif 10% diberlakukan untuk 90 hari, namun untuk sektor tekstil dan garmen sudah ada tarif dasar antara 10-37%. Jadi, tarifnya bisa menjadi 10+10 atau 37+10,” ujar Airlangga dalam konferensi pers virtual, Jumat (18/4/2025).
2. Efek Berantai: Harga Produk Naik, Daya Saing Turun
Tarif tinggi ini tentu saja memberikan efek domino pada berbagai aspek. Tidak hanya membebani eksportir nasional, tetapi juga memengaruhi pembeli di pasar Amerika. Airlangga menjelaskan bahwa biaya tambahan akibat tarif tinggi akan dibagi antara pembeli dan pengirim, dalam hal ini pelaku usaha di Indonesia. Hal ini pada akhirnya membuat harga produk Indonesia di pasar global menjadi lebih mahal.
“Ekspor kita biayanya lebih tinggi, karena ini di-sharing kepada pembeli dan juga ke Indonesia sebagai pengirim,” jelasnya. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat membuat produk Indonesia kalah bersaing dengan produk dari negara lain yang dikenakan tarif lebih rendah.
3. Indonesia Minta Keadilan: Main di Level yang Sama
Pemerintah Indonesia menilai perlakuan tarif tinggi dari AS ini sebagai bentuk ketidakadilan. Negara-negara pesaing seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia menerima tarif yang lebih rendah, sehingga mereka lebih unggul dalam hal harga dan efisiensi pasar. Kondisi ini dinilai tidak menciptakan level playing field yang seimbang dalam perdagangan internasional.
“Kami ingin diberikan tarif yang tidak lebih tinggi dari negara pesaing di ASEAN. Selama ini tidak adil dan kami ingin ada perubahan,” tegas Airlangga. Pemerintah Indonesia pun siap melakukan lobi dan negosiasi lanjutan agar bisa mendapatkan perlakuan tarif yang lebih bersahabat.
4. Strategi Pemerintah: Lobi Diplomatik dan Diversifikasi Pasar
Menghadapi tekanan tarif tersebut, pemerintah tidak tinggal diam. Langkah-langkah diplomatik terus dilakukan agar AS bersedia mempertimbangkan ulang kebijakan tarifnya terhadap Indonesia. Selain itu, pemerintah juga mulai mendorong pelaku usaha untuk mendiversifikasi pasar ekspor, tidak hanya mengandalkan AS sebagai tujuan utama.
Beberapa upaya dilakukan dengan menjalin kemitraan perdagangan dengan negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Asia lainnya yang lebih terbuka terhadap produk Indonesia. Pemerintah juga memberikan dukungan pada sektor industri nasional agar bisa lebih kompetitif dengan meningkatkan kualitas, efisiensi produksi, serta digitalisasi rantai pasok.