Rencana Pajak Pedagang Online: Ini 3 Poin Penting yang Wajib Diketahui

Kuatbaca.com - Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah mempersiapkan kebijakan baru terkait pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pedagang online atau merchant yang berjualan melalui platform e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan marketplace lainnya. Kebijakan ini dirancang sebagai bagian dari strategi untuk memperluas basis pajak di era ekonomi digital yang terus berkembang pesat.
Pengamat perpajakan sekaligus mantan Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk gotong royong dalam kehidupan bernegara. Menurutnya, pajak bukan semata beban, melainkan instrumen yang membuat kehidupan bersama dalam negara menjadi mungkin dan berkelanjutan. Ia menekankan bahwa sistem ini akan tetap memberikan perlindungan kepada pelaku usaha kecil dan menengah.
1. Pedagang dengan Omzet di Bawah Rp 500 Juta Bebas Pajak
Salah satu hal yang sering disalahpahami publik adalah siapa sebenarnya yang akan terkena dampak dari kebijakan ini. Pada dasarnya, pedagang online yang memiliki omzet tahunan di bawah Rp 500 juta tidak akan dikenai pajak apa pun berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Artinya, para pelaku usaha mikro seperti penjual rumahan, reseller kecil, hingga pedagang yang baru mulai merintis usaha online tidak perlu khawatir. Mereka tetap dilindungi dari beban pajak, sesuai prinsip keberpihakan pemerintah terhadap UMKM. Ini menjadi langkah penting untuk memastikan pertumbuhan ekonomi digital tetap inklusif.
2. Tarif Ringan untuk Pedagang Kecil dan Menengah
Bagi para merchant yang memiliki omzet antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun, kebijakan pajak yang berlaku tetap ramah. Mereka akan dikenai tarif 0,5% dari omzet, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018. Tarif ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan tarif pajak umum, sehingga tetap memberikan ruang bagi usaha kecil dan menengah untuk berkembang.
Yustinus menyebutkan bahwa sistem seperti ini menciptakan keadilan. Mereka yang sudah tumbuh tetap berkontribusi, namun tanpa dibebani secara berlebihan. “Yang mikro dilindungi, yang kecil dibantu dengan tarif rendah,” tegasnya dalam penjelasan melalui media sosial.
3. Marketplace Jadi Pemungut Pajak Bagi Merchant Besar
Untuk kategori pedagang yang telah mencapai omzet lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun, maka pemungutan PPh akan dilakukan langsung oleh platform e-commerce tempat mereka berjualan. Besaran tarif yang dikenakan tetap 0,5% dari setiap transaksi dan dapat diperhitungkan dalam pelaporan pajak tahunan mereka. Dengan demikian, proses pelaporan menjadi lebih sederhana karena pemungutan dilakukan secara otomatis oleh marketplace.
Pemerintah sedang mematangkan skema teknis agar tidak membebani merchant maupun platform. Marketplace seperti Tokopedia dan Shopee akan ditunjuk sebagai pemungut pajak melalui mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Hal ini diharapkan memperkuat kepatuhan pajak dan transparansi dalam sektor perdagangan digital.
4. Tujuan Utama: Keadilan Pajak di Era Ekonomi Digital
Langkah pemerintah ini bukan semata mencari penerimaan negara, tetapi menciptakan sistem perpajakan yang adil dan merata. Selama ini, sebagian besar pelaku usaha offline sudah dikenai pajak melalui berbagai mekanisme, sementara sektor online masih memiliki banyak celah. Dengan diberlakukannya aturan ini, akan tercipta kesetaraan perlakuan fiskal antar pelaku usaha, baik di dunia nyata maupun digital.
Kebijakan ini juga diiringi oleh upaya sosialisasi dan edukasi yang akan melibatkan berbagai pihak, termasuk asosiasi e-commerce dan komunitas UMKM digital. Pemerintah memastikan bahwa kebijakan akan dijalankan secara bertahap dan tidak memberatkan pelaku usaha kecil yang baru berkembang.