Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Versi BPKP Tidak Wajar: Diduga ada Rekayasa dan Kriminalisasi.

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Kuatbaca.com - Tom Lembong, Menteri Perdagangan periode 2015/2016, dituduh melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus impor gula kristal mentah (GKM), untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP), tahun 2015 dan 2016. Tom Lembong dijadikan tersangka pada 29 Oktober 2024.
Dalam kasus ini, tidak ditemukan aliran dana korupsi kepada Tom Lembong. Artinya, Tom Lembong tidak (terbukti) melakukan korupsi untuk menguntungkan diri sendiri. Ini merupakan fakta yang sangat penting: tidak ada niat jahat korupsi.
Tuduhan kemudian bergeser. Tom Lembong dituduh menguntungkan orang lain atau korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Kata kunci dalam tuduhan ini adalah: kerugian keuangan negara (atau perekonomian negara). Tanpa ada kerugian keuangan negara (atau perekonomian negara) maka Tom Lembong tidak dapat dijadikan tersangka. Oleh karena itu, jaksa bermanuver. Mencari-cari kerugian keuangan negara.
Dalam kamus Indonesia, mencari-cari artinya mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Dalam konteks peraturan dan hukum, “mencari-cari” mungkin identik dengan “rekayasa” atau “kriminalisasi”.
Ketika sesuatu yang tidak ada mau dijadikan ada, maka digunakan segala imajinasi dan ilusi yang serba palsu: rekayasa.
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) diminta menghitung (baca: mencari-cari) kerugian keuangan negara dalam kasus impor gula kristal mentah Tom Lembong.
BPKP membentuk tim investigasi terdiri dari 6 orang: Koordinator Investigasi Miswan Nasution, Pengendali Teknis Kristiyanto, Ketua Tim Khusnul Khotimah, dan tiga anggota tim masing-masing John Michel, Sigit Sukhem, dan M. Amirul Mu’min.
Tim investigasi BPKP menyampaikan laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara pada tanggal 20 Januari 2025. Artinya, sewaktu Tom Lembong ditahan 29 Oktober 2024, Kejaksaan Agung sebenarnya belum memiliki, dan belum tahu, apakah ada kerugian keuangan negara, dan berapa besar? Ini menjadi catatan samping yang sangat, sangat penting: bisa-bisa, penahanan Tom Lembong tidak sah?
Dalam laporannya, Tim investigasi BPKP menyatakan ada dua unsur utama kerugian keuangan negara dalam kasus impor gula kristal mentah Tom Lembong.
Pertama, kelebihan bayar. Kata “kelebihan bayar” sangat misleading. Karena pada hakekatnya tidak ada lebih bayar: pembayaran sesuai dengan perjanjian transaksi. Yang dimaksud kelebihan bayar adalah “kemahalan”, menurut persepsi tim investigasi BPKP: harga beli gula PT PPI sebesar Rp9.000 per kg (belum termasuk PPN) dianggap kemahalan.
Perhitungan kemahalan versi BPKP terlihat sangat ngawur. Menurut BPKP, PT PPI seharusnya membeli gula dengan menggunakan harga dasar (atau harga patokan petani: HPP) sebesar Rp8.900 (sudah termasuk PPN).
Ada tiga indikasi kesalahan fatal dalam perhitungan kerugian negara versi BPKP ini. Satu, BPKP secara eksplisit mengatakan harga dasar gula adalah harga maksimum, sehingga harga beli lebih tinggi dari harga dasar dianggap kemahalan. Logika ini jelas tidak ada dasarnya.
Sebaliknya, harga dasar seharusnya berfungsi sebagai harga minimum atau harga terendah, sesuai arti dari kata dasar, yaitu terendah.
Dua, faktanya, sepanjang tahun 2015 dan 2016, perusahaan gula negara (PTPN, RNI) membeli gula petani (= harga lelang) jauh lebih mahal dari harga dasar. Harga beli rata-rata gula petani pada Mei dan Juni 2016, bahkan mencapai Rp13.608 dan Rp14.026 per kg, atau 50 dan 54 persen di atas harga dasar. Harga ini jauh lebih mahal dari harga beli PT PPI dari Perusahaan Gula Rafinasi yang “hanya” Rp9.000 per kg. Oleh karena itu, PTPN dan PT RNI seharusnya juga didakwa merugikan keuangan negara?
Tiga, Harga dasar GKP 2015 dan 2016 sudah termasuk PPN seharusnya juga tidak benar, karena gula kristal putih ketika itu masuk barang kena pajak, jadi seharusnya kena PPN.
Kedua, perusahaan gula rafinasi dituduh kurang bayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor: pajak impor dan PPN impor.
Tuduhan ini tidak ada dasar sama sekali, menghancurkan kredibilitas BPKP sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perhitungan kerugian keuangan negara.
Perusahaan gula rafinasi melakukan impor GKM, dan sudah membayar semua kewajiban bea masuk, PPh impor (Pasal 22) dan PPN impor sesuai peraturan pepajakan yang berlaku untuk GKM.
Tetapi tim investigasi BKPK mengatakan, Perusahaan Gula Rafinasi seharusnya membayar kewajiban bea dan pajak seolah-olah yang diimpor adalah Gula Kristal Putih, dengan tarif bea masuk lebih tinggi. Logika ini jelas tidak benar, Faktanya, yang diimpor adalah Gula Kristal Mentah, bagaimana mungkin harus membayar kewajiban pajak untuk GKP? Oleh karena itu, terkesan kuat ada rekayasa dalam kasus impor gula ini.
Alasannya berikutnya, PPh impor dan PPN impor adalah pajak dibayar di muka yang harus diperhitungkan dengan pajak masa bulanan untuk PPN dan pajak penghasilan (PPh) tahunan untuk PPh impor. Oleh karena itu, semua kewajiban (kurang bayar atau lebih bayar) pajak perusahaan gula rafinasi sudah selesai pada akhir tahun 2015 dan 2016: tidak ada kurang bayar pajak lagi.
Selanjutnya, yang berwenang menentukan kurang bayar pajak adalah direktorat jenderal pajak kementerian keuangan, melalui tahapan pemeriksaan, keberatan, peradilan khusus pajak, dan peninjauan kembali. Disamping itu, penetapak kurang bayar pajak merupakan urusan administrasi perdata, bukan pidana.
Dalam urusan ini, BPKP dan Kejaksaan Agung telah melampaui wewenangnya, alias bertindak sewenang-wenang, dalam menetapkan kurang bayar pajak.
Sangat aneh kalau tim investigasi BPKP tidak mengerti hal ini. Oleh karena itu, patut diduga kuat ada faktor kesengajaan (baca: rekayasa) untuk melakukan penyimpangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus impor gula Tom Lembong: sesuatu yang tidak ada, mau diada-adakan.
Uraian di atas memperlihatkan kepada publik, bahwa perhitungan kerugian keuangan negara versi BPKP sangat tidak wajar, mengandung unsur rekayasa yang bisa berujung pada kriminalisasi.
Mari kita renungkan bersama ketidakwajaran ini: Satu, kalau ada kemahalan harga dalam transaksi jual beli gula antara perusahaan gula rafinasi dengan PT PPI, kenapa Tom Lembong yang disalahkan? Dua, kalau perusahaan gula rafinasi kurang bayar pajak, kenapa Tom Lembong yang disalahkan?
Jadi banyak keanehan, ketidakwajaran, dan dugaan penyimpangan atau rekayasa dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh BPKP.
Mohon BPKP khususnya tim investigasi kasus impor gula Tom Lembong berkenan menjelaskannya kepada publik.
—- 000 —-