Peran Strategis Arsitek dalam Menurunkan Emisi Karbon Bangunan: PUPR Dorong Inovasi dan Kolaborasi

Kuatbaca.com - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menegaskan bahwa arsitek memiliki peran penting dalam mendukung misi nasional pengurangan emisi karbon, terutama di sektor bangunan gedung. Dalam pembukaan forum arsitektur ARCH:ID 2025 yang berlangsung pada 8-11 Mei di ICE BSD City, Tangerang Selatan, pemerintah kembali mengajak para arsitek di Indonesia untuk lebih aktif berinovasi dan berkolaborasi demi mewujudkan arsitektur berkelanjutan.
Arsitek dinilai tidak hanya bertanggung jawab pada aspek estetika bangunan, tetapi juga bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari desain yang mereka hasilkan. Dengan perubahan iklim yang semakin terasa dan perkembangan teknologi konstruksi yang pesat, pendekatan terhadap perancangan bangunan harus mulai mengedepankan efisiensi energi dan pengurangan emisi karbon sejak tahap awal desain.
1. Standar Bangunan Hijau dan Cerdas Sebagai Solusi Nyata
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi komitmennya dalam mitigasi perubahan iklim melalui UU No. 16 Tahun 2016 dan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam dokumen tersebut, Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% dengan usaha sendiri dan hingga 43,2% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Untuk mendukung target tersebut, Kementerian PUPR menerapkan pemenuhan standar teknis Bangunan Gedung Hijau (BGH) dan Bangunan Gedung Cerdas (BGC), baik secara wajib maupun sukarela. Standar ini mengusung prinsip reduce, reuse, dan recycle terhadap sumber daya yang digunakan. Arsitek diharapkan dapat menerapkan desain pasif dan aktif yang efisien secara energi, agar bangunan yang dihasilkan menuju pada konsep net zero emission.
2. Teknologi BIM dan Efisiensi Energi dalam Konstruksi
Salah satu teknologi yang kini menjadi andalan Kementerian PUPR dalam mendukung pembangunan berkelanjutan adalah Building Information Modeling (BIM). BIM tidak hanya mempermudah proses perencanaan dan pembangunan, tetapi juga mampu melakukan analisis konsumsi energi secara rinci sebelum konstruksi dimulai.
Penggunaan BIM dalam tahap desain memungkinkan arsitek dan insinyur mengevaluasi beban energi, mengoptimalkan material bangunan, dan menekan pemborosan yang tidak perlu. Dengan begitu, pengurangan emisi karbon dapat dilakukan secara sistematis sejak tahap perencanaan.
3. Industri Material Bangunan Dukung Inisiatif Hijau
Dukungan terhadap pembangunan berkelanjutan tidak hanya datang dari pemerintah, namun juga dari pelaku industri konstruksi. PT Tatalogam Lestari, melalui desain bangunan mereka yang bertajuk Ruang Riung: Fingerprint of Indonesia, menampilkan pendekatan arsitektur berkelanjutan dengan menggunakan material baja ringan yang ramah lingkungan.
Material baja ringan yang mereka gunakan telah mendapatkan sertifikasi Industri Hijau dan tengah dalam proses sertifikasi Greenship Solution Endorsement (GSE). Selain itu, teknologi konstruksi Domus Fastrac memungkinkan material dipotong dan dirakit sesuai kebutuhan dari pabrik, sehingga tidak menimbulkan limbah konstruksi di lapangan. Hal ini memperkuat konsep zero waste dan reuse dalam pembangunan.
4. Ruang Riung: Simbol Kebhinekaan dalam Arsitektur Modern
Desain Ruang Riung bukan sekadar instalasi, tetapi juga manifestasi nilai-nilai keberagaman dan keterhubungan sosial di Indonesia. Dirancang oleh tim arsitek dari Mark Associates, bangunan ini menampilkan bentuk-bentuk organik yang terinspirasi dari siluet budaya dan alam Indonesia. Struktur ini menjadi simbol pusat komunitas, yang mendorong interaksi sosial dan pertukaran budaya antar masyarakat.
Meskipun menggunakan material baja ringan, Ruang Riung mampu menampilkan bentuk arsitektural yang dinamis, berlapis, dan unik, tanpa kehilangan identitas lokalnya. Proyek ini menunjukkan bahwa material modern dan prinsip keberlanjutan bisa berjalan beriringan tanpa mengorbankan nilai estetika maupun fungsi sosial.