Pasar Tenaga Kerja Indonesia: Banjir Sarjana, Namun Lowongan Kerja Terbatas

Kuatbaca - Pasar tenaga kerja di Indonesia kini menghadapi ketimpangan yang cukup signifikan. Di satu sisi, jumlah lulusan sarjana terus meningkat setiap tahunnya, sementara di sisi lain, lapangan pekerjaan yang tersedia tak mampu menampung semua pencari kerja. Fenomena yang muncul adalah banyaknya lulusan sarjana yang akhirnya terpaksa banting setir dan mengisi posisi pekerjaan informal seperti asisten rumah tangga (ART), sopir, hingga security. Hal ini menjadi perhatian utama di tengah ketatnya persaingan kerja dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Ketimpangan antara jumlah pencari kerja dan lowongan pekerjaan ini semakin mencolok, terutama bagi mereka yang memiliki gelar sarjana. Terkadang, pekerjaan yang mereka jalani jauh dari harapan dan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang telah mereka tempuh. Akibatnya, para lulusan yang sebelumnya mengharapkan posisi profesional atau sesuai dengan keahlian mereka, terpaksa menerima pekerjaan yang tidak relevan dengan gelar yang dimiliki.
Penyebab Ketimpangan: Lebih Banyak Pencari Kerja daripada Lowongan
Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza, menjelaskan bahwa ketimpangan antara supply (pasokan) dan demand (permintaan) di pasar tenaga kerja menjadi akar permasalahan utama. Secara sederhana, jumlah angkatan kerja yang mencari pekerjaan jauh lebih besar daripada jumlah lowongan yang tersedia. Dalam kondisi seperti ini, ijazah sarjana sering kali hanya berfungsi sebagai "saringan administratif" untuk mempermudah seleksi kandidat, bukannya menjadi penentu utama dalam proses perekrutan.
Hal ini berbeda dengan negara-negara yang mengalami ketidakseimbangan supply dan demand dalam arah yang berlawanan, seperti Qatar. Di negara tersebut, permintaan tenaga kerja jauh lebih besar daripada jumlah pencari kerja, sehingga ijazah menjadi faktor yang kurang penting. Yang utama adalah kemampuan dan keinginan untuk bekerja, tanpa memandang latar belakang pendidikan formal.
Perubahan Tren di Dunia Kerja: Keahlian Lebih Penting daripada Gelar
Selain itu, Ivan juga mengungkapkan bahwa banyak perusahaan di Indonesia, terutama perusahaan multinasional, kini mulai mengubah kriteria penerimaan karyawan. Mereka lebih mengutamakan kemampuan atau keahlian di bidang tertentu daripada gelar sarjana dari universitas terkemuka. Hal ini menyebabkan banyak pencari kerja yang bersaing berdasarkan keterampilan praktis, bukan hanya pada status akademis yang mereka peroleh.
Perusahaan besar seperti yang masuk dalam daftar Fortune 500 pun sudah banyak yang tidak lagi memerlukan ijazah sebagai syarat utama. Mereka lebih memilih kandidat yang mampu memenuhi tes atau menunjukkan keterampilan langsung di lapangan. Hal ini membuat para lulusan sarjana yang kesulitan menemukan pekerjaan formal harus mencari jalan keluar dengan memasuki pekerjaan informal, yang tidak membutuhkan banyak persyaratan administratif.
Kesulitan Memasuki Pasar Kerja: Angkatan Kerja yang Terus Bertambah
Mengapa fenomena ini terjadi? Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Noor Effendi, menyatakan bahwa tingginya jumlah angkatan kerja yang memasuki pasar setiap tahunnya menjadi salah satu penyebab utama. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 3 juta hingga 3,5 juta orang bergabung dengan pasar tenaga kerja Indonesia setiap tahun. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu menciptakan lapangan pekerjaan sekitar 200.000 hingga 300.000 posisi per 1% pertumbuhan ekonomi. Artinya, meskipun ekonomi tumbuh, lapangan kerja yang tercipta tidak cukup untuk menampung seluruh pencari kerja.
Dalam kondisi ini, sangat mungkin bahwa banyak angkatan kerja yang gagal mendapatkan pekerjaan formal. Sektor formal, yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja terdidik, hanya mampu menyerap sekitar 40% dari total pekerja di Indonesia. Sementara itu, sektor informal, yang lebih fleksibel dalam hal persyaratan pendidikan dan keahlian, menyerap sisanya, yakni sekitar 60% pekerja.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di beberapa sektor industri. Banyak pekerja yang terdampak PHK terpaksa mencari pekerjaan di sektor informal sebagai jalan keluar sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan informal menjadi pilihan terakhir bagi mereka yang gagal bersaing di pasar kerja formal.
Namun, meskipun pekerjaan informal sering kali menjadi pilihan terakhir, pekerjaan ini tetap memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai contoh, sektor informal mencakup berbagai jenis pekerjaan, mulai dari sopir, pedagang, hingga pekerja lepas lainnya yang juga mempengaruhi dinamika ekonomi dalam skala yang lebih luas.
Penyelesaian terhadap ketimpangan antara angkatan kerja yang terus meningkat dan lapangan pekerjaan yang terbatas bukanlah hal yang mudah. Diperlukan upaya untuk mempercepat penciptaan lapangan kerja, baik melalui peningkatan kualitas pendidikan vokasi, penyempurnaan regulasi pasar tenaga kerja, maupun perluasan sektor-sektor yang berpotensi menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Selain itu, di tengah kondisi pasar kerja yang semakin kompetitif, penting bagi para pencari kerja untuk terus mengembangkan keterampilan dan keahlian yang relevan dengan kebutuhan pasar. Tidak hanya mengandalkan gelar pendidikan formal, tetapi juga mengasah kemampuan praktis yang dapat menambah daya saing di pasar tenaga kerja yang semakin ketat.
Dengan demikian, meskipun tantangan pasar tenaga kerja Indonesia saat ini cukup besar, bukan berarti tidak ada solusi. Para pekerja, perusahaan, dan pemerintah perlu bekerja sama untuk menciptakan sistem ketenagakerjaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.