Maskapai Dunia Ramai-Ramai Batalkan Penerbangan Imbas Serangan AS ke Iran

Kuatbaca.com - Situasi geopolitik di Timur Tengah kembali memanas setelah Amerika Serikat meluncurkan serangan udara ke beberapa fasilitas nuklir milik Iran. Aksi militer ini menambah ketegangan yang sebelumnya telah meningkat akibat konflik berkepanjangan antara Iran dan Israel. Efek dari konflik ini tak hanya berdampak pada aspek militer dan politik, tetapi juga menjalar ke sektor transportasi udara global.
Sejumlah maskapai penerbangan internasional mulai menangguhkan atau membatalkan penerbangan mereka ke wilayah Timur Tengah, terutama ke negara-negara yang dekat dengan pusat konflik. Hal ini dilakukan demi menjaga keselamatan penumpang dan awak pesawat, mengingat risiko serangan misil dan drone kini meningkat di kawasan tersebut.
1. Rute Udara Eropa-Asia Terhambat, Timur Tengah Jadi Titik Kritis
Sejak wilayah udara Rusia dan Ukraina ditutup akibat invasi yang berlangsung sejak 2022, jalur udara melalui Timur Tengah menjadi salah satu alternatif utama penghubung antara Eropa dan Asia. Kini, jalur tersebut kembali terganggu. Berdasarkan data pemantauan penerbangan global, nyaris tidak ada aktivitas penerbangan yang melintasi wilayah udara Iran, Irak, Suriah, hingga Israel.
Kondisi ini menyebabkan maskapai harus memutar rute penerbangan, memperpanjang waktu tempuh, dan menaikkan biaya operasional. Maskapai-maskapai besar seperti Singapore Airlines, Air France KLM, dan British Airways memilih membatalkan jadwal penerbangan ke destinasi seperti Dubai, Riyadh, dan Doha untuk beberapa hari mendatang sebagai tindakan preventif.
2. Maskapai Dunia Menyesuaikan Operasional Demi Keamanan
Singapore Airlines, sebagai salah satu maskapai premium di Asia, telah menghentikan sementara layanan menuju Dubai. Keputusan ini diambil usai melakukan evaluasi menyeluruh terhadap situasi keamanan kawasan. Langkah serupa dilakukan oleh Air France KLM yang membatalkan rute ke Dubai dan Riyadh.
British Airways juga mengikuti jejak tersebut dengan menghentikan penerbangan ke Dubai dan Doha. Maskapai ini menyatakan akan terus melakukan pemantauan terhadap perkembangan situasi dan mengambil keputusan berdasarkan kondisi terbaru yang mereka terima dari otoritas penerbangan dan lembaga keamanan.
American Airlines dan United Airlines pun sudah terlebih dahulu menghentikan operasional mereka ke wilayah Qatar dan Uni Emirat Arab sebelum serangan udara AS terjadi. Langkah ini menunjukkan bahwa kekhawatiran maskapai terhadap potensi ancaman udara di kawasan itu sudah terbentuk jauh sebelum konflik benar-benar pecah.
3. Risiko Keamanan dan Ancaman Harga Minyak Jadi Pertimbangan Tambahan
Selain faktor keamanan, maskapai penerbangan kini menghadapi ancaman tambahan berupa potensi lonjakan harga minyak global. Serangan militer AS ke Iran berisiko memicu ketegangan lebih luas yang bisa mengguncang pasokan energi dunia. Jika harga minyak melonjak, maka biaya bahan bakar pesawat—komponen terbesar dalam pengeluaran maskapai—juga akan naik drastis.
Hal ini membuat banyak maskapai mempertimbangkan ulang efisiensi rute, frekuensi penerbangan, hingga kemungkinan melakukan penyesuaian tarif demi menutupi biaya tambahan yang muncul. Di sisi lain, penurunan jumlah penumpang akibat kekhawatiran terbang di tengah konflik juga memperberat tekanan ekonomi maskapai-maskapai tersebut.
4. Israel Tingkatkan Penerbangan untuk Evakuasi Warga
Berbeda dari maskapai internasional lainnya, Israel justru mengambil langkah sebaliknya. Negara tersebut meningkatkan jumlah penerbangan, khususnya untuk memfasilitasi warganya yang ingin meninggalkan atau kembali ke tanah air di tengah situasi krisis. Pihak otoritas bandara Israel menyatakan telah menambah kapasitas hingga 24 penerbangan per hari, meskipun setiap penerbangan dibatasi hanya untuk 50 penumpang.
Maskapai nasional El Al melaporkan menerima lebih dari 25.000 permintaan penerbangan keluar dari Israel dalam kurun waktu satu hari saja. Ini mencerminkan skala kepanikan dan urgensi yang dirasakan masyarakat di tengah ketidakpastian keamanan nasional.