Ketegangan Memuncak: Iran Pertimbangkan Tutup Selat Hormuz, Harga Minyak Dunia Bergejolak

Kuatbaca.com - Selat Hormuz kembali menjadi pusat perhatian dunia setelah meningkatnya eskalasi ketegangan di Timur Tengah, khususnya antara Iran, Amerika Serikat (AS), dan Israel. Ketegangan memuncak ketika AS dikabarkan memberikan dukungan serangan ke beberapa fasilitas strategis milik Iran. Menanggapi situasi tersebut, Iran mengisyaratkan kemungkinan akan menutup Selat Hormuz sebagai bentuk tekanan strategis.
Langkah penutupan Selat Hormuz bukanlah ancaman baru, namun kali ini menjadi sangat serius karena menyangkut kepentingan vital nasional Iran. Selat sempit yang terletak di antara Teluk Persia dan Teluk Oman ini merupakan jalur utama ekspor minyak dari negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Irak.
1. Opsi Strategis Iran di Tengah Ancaman Terhadap Keamanan Nasional
Behnam Saeedi, anggota Presidium Komite Keamanan Nasional Parlemen Iran, menyatakan bahwa Iran akan mengambil tindakan tegas jika objek vital negaranya diserang secara langsung. Menurutnya, menutup Selat Hormuz menjadi salah satu opsi yang siap digunakan jika situasi berkembang ke arah yang lebih ekstrem.
"Iran memiliki banyak pilihan untuk membalas musuh-musuhnya dan menggunakan pilihan tersebut berdasarkan situasi yang ada. Menutup Selat Hormuz merupakan salah satu opsi potensial bagi Iran," ujar Saeedi.
Sementara itu, anggota parlemen Iran lainnya, Ali Yazdikhah, menambahkan bahwa saat ini Iran tetap menahan diri untuk menjaga jalur pelayaran tetap terbuka. Namun, ia menegaskan bahwa Iran memiliki hak penuh untuk membela diri jika situasi memaksanya.
"Jika AS secara resmi dan operasional memasuki perang untuk mendukung Zionis (Israel), itu adalah hak sah Iran dalam rangka menekan AS dan negara-negara Barat untuk mengganggu kemudahan transit perdagangan minyak mereka," kata Yazdikhah.
2. Dampak Global Jika Selat Hormuz Ditutup
Selat Hormuz menjadi jalur penting bagi sekitar 20% pasokan minyak dunia, atau sekitar 18 juta barel per hari. Penutupan selat ini bisa membawa dampak besar terhadap ekonomi global. Salah satu dampak langsung adalah lonjakan harga minyak mentah dunia. Situasi ini bisa memperburuk inflasi, mengganggu rantai pasok global, dan memicu ketegangan militer di kawasan Teluk.
Penutupan selat juga berpotensi menimbulkan guncangan besar terhadap sektor industri, karena bahan bakar menjadi lebih mahal dan langka. Selain itu, blokade semacam ini bisa memicu reaksi militer dari negara-negara yang menggantungkan pasokan energinya melalui jalur tersebut.
Gangguan di Selat Hormuz juga akan menaikkan biaya transportasi logistik secara signifikan. Jalur pelayaran yang selama ini menjadi urat nadi ekspor-impor minyak, barang elektronik, dan bahan baku industri akan terganggu parah, yang pada akhirnya bisa menghambat pertumbuhan ekonomi global.
3. Respons Pasar: Harga Minyak Melonjak Tajam
Kekhawatiran terhadap potensi penutupan Selat Hormuz langsung tercermin di pasar global. Harga minyak mentah Brent melonjak hingga mendekati US$ 80 per barel. Kenaikan ini dipicu oleh meningkatnya ketegangan geopolitik dan ketidakpastian pasokan energi global. Harga Brent tercatat naik sebesar US$ 1,92 atau 2,49%, menjadi US$ 78,93 per barel.
Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) asal AS juga mengalami kenaikan sebesar US$ 1,89 atau 2,56%, mencapai US$ 75,73 per barel. Bahkan, harga sempat menyentuh puncak lima bulan tertinggi, yaitu US$ 81,40 untuk Brent dan US$ 78,40 untuk WTI.
Sejak konflik memanas pada pertengahan Juni, harga minyak dunia terus menunjukkan tren naik. Brent tercatat mengalami lonjakan hingga 13%, sedangkan WTI naik sekitar 10%. Kenaikan ini mencerminkan betapa sensitifnya pasar energi terhadap kondisi geopolitik Timur Tengah.
4. Potensi Krisis Regional dan Langkah Mitigasi
Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, tidak hanya sektor energi yang akan terdampak, tetapi juga stabilitas keamanan regional. Potensi bentrokan antara Iran dan koalisi negara-negara Barat, termasuk angkatan laut AS dan negara Teluk, akan meningkat. Situasi ini dikhawatirkan memicu perang regional yang lebih luas dan sulit dikendalikan.
Beberapa negara sudah mulai mempersiapkan langkah antisipasi. Di Indonesia, misalnya, Pertamina dikabarkan menyiapkan rute alternatif bagi kapal tanker agar pasokan energi dalam negeri tetap terjaga. Langkah serupa juga dilakukan oleh negara-negara pengimpor minyak lainnya untuk menghindari gangguan besar dalam rantai distribusi energi.