Kenaikan Tarif Pungutan Ekspor CPO Jadi 10%, Berlaku Mulai 17 Mei 2025

Kuatbaca - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menaikkan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dari sebelumnya 7,5% menjadi 10%. Kebijakan ini mulai efektif berlaku pada tanggal 17 Mei 2025 dan dikeluarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025. Pungutan ini dikelola oleh Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) yang bertugas mengelola dana hasil pungutan dari ekspor produk perkebunan.
Tujuan Kenaikan Tarif Pungutan Ekspor CPO
Kebijakan kenaikan tarif ini bertujuan untuk mendukung peningkatan produktivitas produk perkebunan di dalam negeri, sekaligus memberikan nilai tambah lebih besar pada produk hilir. Dengan adanya kenaikan tarif ini, diharapkan dana yang terkumpul dari pungutan ekspor bisa dialokasikan untuk pengembangan sektor perkebunan, khususnya yang menyentuh langsung pada kesejahteraan petani dan pengembangan industri pengolahan CPO agar tidak hanya mengandalkan bahan baku mentah.
Komoditas yang Terdampak Pungutan Ekspor Baru
Dalam lampiran PMK tersebut, peningkatan tarif pungutan ekspor tidak hanya berlaku untuk CPO biasa, tetapi juga untuk beberapa produk turunan minyak kelapa sawit. Produk yang terkena kenaikan tarif antara lain Minyak Sawit Rendah Asam Lemak Bebas (Low Free Fatty Acid Crude Palm Oil), Minyak Daging Buah Kelapa Sawit (Palm Mesocarp Oil), Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil), dan Degummed Palm (Mesocarp Oil). Selain itu, pungutan 10% juga berlaku untuk produk seperti Minyak Inti Sawit (Crude Palm Kernel Oil), Palm Oil Mill Effluent Oil, Minyak Tandan Kosong Kelapa Sawit (Empty Fruit Bunch Oil), dan High Acid Palm Oil Residue.
Tarif pungutan ekspor ini wajib dibayarkan oleh pelaku usaha dan eksportir dalam mata uang rupiah. Nilai kurs yang digunakan adalah kurs yang berlaku pada saat pembayaran dilakukan. Kurs tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui keputusan resmi yang juga menjadi dasar pelunasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, bea keluar, dan pajak penghasilan. Kebijakan ini memberikan kepastian mekanisme pembayaran pungutan dan menghindari ketidakpastian nilai tukar bagi para eksportir.
Dampak Kebijakan terhadap Industri Kelapa Sawit dan Ekspor
Kenaikan pungutan ekspor CPO ini diharapkan dapat memperkuat daya saing industri hilir kelapa sawit Indonesia. Dengan menambah dana yang dapat digunakan untuk pengembangan industri pengolahan minyak sawit, pemerintah ingin mendorong agar komoditas ini tidak hanya dijual sebagai bahan baku mentah di pasar internasional, tetapi juga diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi. Kebijakan ini diharapkan juga bisa meningkatkan pendapatan petani kelapa sawit yang selama ini menjadi bagian penting dalam rantai pasok CPO.
Meskipun kenaikan tarif pungutan ini diharapkan membawa manfaat besar, para pelaku usaha perlu menyiapkan diri menghadapi potensi kenaikan biaya ekspor yang mungkin berdampak pada harga jual produk di pasar global. Pemerintah diharapkan terus melakukan pendampingan agar industri kelapa sawit dapat beradaptasi dengan perubahan ini tanpa kehilangan daya saing. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan petani menjadi kunci untuk mengoptimalkan manfaat dari pungutan ekspor yang dinaikkan ini.
Peningkatan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit menjadi 10% mulai 17 Mei 2025 menunjukkan langkah pemerintah dalam memperkuat sektor perkebunan dan industri pengolahan minyak sawit di Indonesia. Dengan dana tambahan dari pungutan ini, diharapkan terjadi percepatan pengembangan hilirisasi produk kelapa sawit yang akan memberi manfaat berkelanjutan bagi semua pihak, terutama petani dan pelaku industri dalam negeri. Meski ada tantangan yang harus dihadapi, kebijakan ini menandai komitmen pemerintah untuk menjaga posisi Indonesia sebagai salah satu produsen CPO terbesar di dunia dengan nilai tambah yang lebih tinggi.